Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Jumat, 29 Oktober 2010

Pro Kontra Hak Pilih TNI-Polri

Belakangan ini selain gegap gempita piala dunia yang demikian membahana di seluruh penjuru dunia, di tanah air tercinta Indonesia, saya amati(spt biasa jd pengamat aja deh) byk sekali terjadi lalu lintas informasi yg begitu menyita perhatian publik. Katakanlah mulai dari urusan politik, ghost-ship artis, kemiskinan& pemiskinan dan hal-hal lainnya yang demikian mewarnai ragam kehidupan berbangsa & bernegara kita. Pada kesempatan kali ini, melalui media facebook ini, izinkan saya mencoba mengangkat sebuah wacana publik yang sebetulnya bukan barang baru lagi dalam kancah polemik tanah air, yakni tentang hak pilih TNI yang baru-baru ini digulirkan oleh orang nomor satu di republik kita, pak SBY.



Hak Pilih TNI/POLRI, Ibarat Pedang Bermata Dua

Saudara,

Sebetulnya, wacana memberikan hak pilih bagi TNI/POlri, bukan hal yang baru. Wacana penggunaan hak pilih TNI berawal dari keinginan mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto agar anggota TNI menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009.

Pasca pemilu 2004, Endriartono sudah menyampaikan keinginan itu. Walau, Endriartono juga yang menolak penggunaan hak pilih anggota TNI dalam pemilu 2004.

Dalam Pemilu 2004 TNI/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak menggunakan hak pilihnya. Itu dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.

Agaknya memang tidak mudah memutuskan apakah hak pilih TNI diberikan pada Pemilu 2014 atau tidak, karena berkait dengan keberhasilan reformasi internal TNI, kondisi TNI, bahkan kondisi bangsa dan negara di masa datang.

Dari diskursus di media massa dapat dipetakan kelompok yang menyatakan setuju dan tidak setuju. Kelompok pro rata-rata adalah aktivis prodemokrasi dan HAM yang menilai hak politik perorangan merupakan hak asasi manusia yang harus diberikan kepada siapa pun, termasuk anggota militer.

Kedua, kelompok politikus yang menilai dari sisi idealisme demokrasi dan TNI sudah cukup dewasa untuk melakukannya. Sedangkan mereka yang belum setuju pada umumnya datang dari kelompok profesional dan peneliti yang mengedepankan realisme.

Kelompok kontra memandang realitas kondisi sosial-ekonomi yang belum memadai dan kultur politik (terutama elite) yang belum baik, harus dipertimbangkan.

Menurut Pengamat militer LIPI Jaleswari Pramowardhani mencatat masih ada 3 persoalan mendasar di tubuh TNI yang harus diselesaikan dalam 15 tahun ke depan. Pertama, modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Kedua, pemenuhan kesejahteraan prajurit. Ketiga, sosialisasi prinsip-prinsip keadaan demokrasi. Masih menurut Jaleswari, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dinilai belum waktunya mendapatkan kembali hak pilih pada pemilu mendatang. Wacana ini harus dihentikan, TNI diminta tetap fokus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertimbangannya, sebagai warga negara TNI memang memiliki hak untuk memilih yang dilindungi oleh UUD. Tetapi di kalangan TNI sendiri pengembalian hak pilih masih menjadi pro dan kontra, kesejahteraan prajurit sebaiknya lebih diutamakan.

Sedangkan disisi lain, bagi kalangan yang setuju penggunaan Hak Pilih bagi TNI/Polri, menilai bahwa,Adalah langkah mundur, apabila hak anggota TNI menggunakan hak pilihnya dihalangi. Sebagai contoh, seorang presiden yang notabene adalah panglima tertinggi Angkatan Laut, Darat dan Udara, bahkan mempunyai hak pilih dalam pemilu.

Masalah kedewasaan berdemokrasi, seharusnya tidak saja ditujukan kepada anggota TNI, melainkan juga masyarakat, dan kalangan lainya terutama partai politik.

Perilaku, bahkan kultur elite politik negeri ini yang belum dewasa cenderung masih senang menggandeng TNI atau perwira TNI untuk kepentingan kelompoknya.

Menurut Mayjen TNI Syarifudin Tippe, S.IP, Msi, dalam makalahnya berjudul" Strategi Pengembangan TNI AD 25 Tahun Kedepan, Ditinjau Dari Aspek Pendidikan", sebagai komponen bangsa, TNI AD(angkatan darat)--khususnya. akan tetap menjadi rebutan kelompok kepentingan. Sehingga harus diakui ini akan menciptakan peluang bagi oknum TNI AD menempuh tujuan pribadi mencari kekuasaan / jabatan dengan cara yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral keprajuritan. Model tersebut melahirkan elite TNI AD yang kesetiaannya ganda, tidak saja loyal pada negara, tetapi juga pada orang perorang atau golongan yang membuat dirinya masuk menjadi kelompok elite. Hal demikian menjadikan organisasi TNI AD tidak lagi menjadi solid.

Nah dari ulasan MayJen Syarifudin diatas, kalo kita kaitkan dengan penggunaan hak pilih bagi TNI/POLRI, maka dapat di-interpretasikan kurang lebih sama. Terlebih kalo kita berkaca pada pengalaman proses demokrasi yang berlangsung sejak zaman orde baru. Kekuatan TNI/POlri begitu nyata dimanfaatkan oleh penguasa waktu itu untuk melanggengkan kekuasaannya.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 34 tahun 2004 pasal 2 (d) tentang TNI, dinyatakan bahwa tentara profesional ialah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya. TNI adalah alat pertahanan negara yang meliputi wilayah darat (TNI AD), laut (TNI AL), dan udara (TNI AU). Berdasarkan Undang-Undang tersebut, TNI AD hingga saat ini belum mampu membangun profesionalismenya sebagai alat pertahanan negara, karena strategi dan upayanya belum menyentuh aspek mendasar yang dibutuhkan, yakni pembangunan “Mind Set” tentang profesionalisme, nilai kultur profesi, yang akan melahirkan pada munculnya kekuatan kebutuhan untuk berbuat yang terbaik dan terukur pada masing- masing prajurit. Salah satu slogan yang digunakan salah satu instansi di Indonesia9, yakni : :“’Cukup Baik’ Tidak Cukup Baik Bagi Orang Yang Mencoba Melakukan Yang Terbaik”, merupakan slogan yang dapat dipakai sebagai bahan banding bagi prajurit TNI AD untuk memacu nilai profesionalisme.

Kesiapan Masyarakat Secara Politik

Seandainya Hak Pilih bagi TNI & POlri diberlakukan dalam waktu dekat, dikhawatirkan akan menimbulkan riak-riak sosial yang resikonya tidak sedikit. Maksudnya, kalo secara individu, teknis, emosional dan wawasan prajurit TNI/POlri tidak masalah dalam melaksanakan hak demokrasi ini, sekarang bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang secara politik---maaf saja dari sekian tahun kita menjalankan proses demokrasi berupa pemilu, blm juga dewasa sepenuhnya. Disana-sini masih saja ada bakar-bakaran(termasuk syahwat..upss), perusakan dll..!..Sungguh ironis..Nah sederhananya, jikalau pada saat sebuah peristiwa rusuh politk misalnya, ada prajurit TNI/Polri bertugas disana sedangkan mereka scr individu adlh pendukung salah satu Partai, apa bisa netral? apa bisa profesional?Yakin? Ehm..biasanya teori berbeda dngn praktek dilapangan.

Jadi kalau dalam posisi pro atau kontra, dengan tegas penulis nyatakan sikap di forum ini bahwa, penulis memandang, belum saatnya Prajurit TNI/Polri diberikan hak pilih dalam perhelatan pemilu mendatang, setidaknya dalam jangka waktu 10 tahun kedepan. Kenapa? Karena, TNI/Polri adalah berasal dari rakyat, kalau rakyat sudah dewasa secara politik, sejahtera secara ekonomi, maka silahkan TNI/POlri diberi hak politik tuk memilih dan dipilih. Untuk saat ini, biarkan TNI/Polri tetap menjadi pengawal PANCASILA sejati. Tingkatan kesejahteraan mereka dan tingkatkan infrastruktur n suprastruktur kelembagaan TNI/Polri.

Disamping itu saudara sekalian, saya memandang bahwa sebetulnya ada is-isu lain yang seharusna lebih diperhatikan daripada membuat polemik tentang hak pilah-pilih ini, bagaimana membangun TNI/Polri yang mampu mempertahankan wilayah kesatuan RI yang tangguh, penjagaan perbatasan, mempertahankan pulau-pulau terluar milik RI, dan mencegah bahaya terorisme. Namun, disisi lain, dengan Pak SBY melontarkan wacana ini, saya yakin beliau sebagai mantan orang militer, sebenarnya ingin menguji pemikiran rakyatnya. Jiwa Pancasila Pak SBY tidak usah diragukan lagi, tinggal sekarang karena gong ditabuh SBY, maka, sudah saatnya pula beliau menghentikan gong itu dengan mengeluarkan tari-tarian pamungkas tuk mengakhiri riuh-rendah para penonton. Dirgahayu Polri, Jayalah TNI, manunggallah selalu dengan rakyat!!.

Salam Nusantara Jaya!
Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar