Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Jumat, 27 Juli 2012

Antara Lumpur Lapindo dan Keruntuhan Majapahit


Sandhyakala Majapahit,Sirna Ilang Kertaning Bumi

Berikut adalah ulasan saya mengenai Sandhyakala Majapahit , Sirna Ilang Kertaning Bumi menyambung tulisan terdahulu tentang bencana geologi yang disebut-sebut dalam Kitab Pararaton.
Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi2 kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.



Akhirnya, bisul ketegangan itu pecah, perang antar keturunan Hayam Wuruk tak terhindarkan. Perseteruan antara Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Wirabbhumi (putra Hayam wuruk dari seorang selir) menyulut sebuah perang besar yang sangat merusak sendi-sendi Majapahit : Perang Paregreg (1401-1406 M).
Apa hasil perang ? Majapahit kian melemah. Para pejabat kerajaan tak peduli lagi nasib negerinya. Alih-alih, mereka berlomba-lomba ber-aji mumpung. Korupsi merajalela, krisis multidimensi terjadi. Bertahun-tahun kondisi semacam itu terjadi dan dibiarkan terjadi. Lalu, beberapa decade menjelang tahun 1500 M, Majapahit, kerajaan pemersatu Nusantara, runtuh setelah berada di bumi Jawa Timur hampir 200 tahun. Babad Tanah Jawi mencatat tahun keruntuhan Majapahit itu dalam suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yaitu 1400 caka atau 1478 M.
Penelitian2 kesejarahan dan geologi yang pernah dilakukan di wilayah Majapahit, delta Brantas, menyimpulkan bahwa kemunduran Majapahit selain disebabkan perseteruan keluarga juga dapat dihubungkan dengan mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului oleh rentetan bencana geomorfologis yang salah satunya pernah tercatat dalam Babad Pararaton : bencana 1296 Caka (1374 M) “pagunung anyar” yang pernah saya tafsirkan sebagai erupsi gunung lumpur (argumennya pernah saya tulis di milis ini beberapa bulan yang lalu, silakan dicek). Bencana ini terjadi pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Hayam Wuruk. Diduga bahwa bencana serupa terjadi beberapa kali pada periode setelah Hayam Wuruk tiada. Penelitian Nash, ahli geohidrologi Belanda, dipublikasi pada tahun 1932 (James Nash -1932 , “Enige voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte – Handelingen van 6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”) bisa menjadi acuan tentang bagaimana dinamiknya bumi di bawah Majapahit itu. Rentetan bencana terjadi, sementara negeri tak terurus karena pejabatnya sibuk berkorupsi, apalagi kalau tak runtuh.

Yang ingin saya ulas kali ini adalah soal sandhyakalaSirna Ilang Kertaning Bumi” yang dalam penafsiran saya bisa menunjukkan dan menguatkan cerita bencana seperti yang tercatat pada Babad Pararaton di atas.
Menurut ahlinya (Suwito, 2006), sengkala berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan – an kemudian menjadi sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar, atau ornamen tertentu. Bangsa barat menyebutnya sebagai kronogram. Mengapa untuk menyebut angka tahun digunakan kalimat ? Sebab, para leluhur kita memaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat peristiwa yang telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa apa yang terjadi tahun itu. Saya pikir ini suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur. Karena tahun Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi, maka suka disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah, maka suka disebut candrasengkala karena menggunakan garis edar Bulan sebagai referensi (candra = Bulan).

Para leluhur sudah menyusun aturan2 sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala. Karena sengkalan menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata- kata tertentu punya “watak bilangan” atau “watak kata-kata” masing2. Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa).
Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia.
Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga.
Angka 3 : api atau benda berapi.
Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”.
Angka 5 : angin,raksasa, panah.
Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”.
Angka 7 : pendeta, gunung, kuda).
Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana.
Angka 9 : dewa, benda yang berlubang.
Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”.
Demikian pedoman singkat dari Suwito (2006). Aturan lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di kalimat sengkalan menjadi angka urutan pertama, sedangkan kata pertama di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir pada tahun sengkalan.
Mari kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi“. Bila dilihat watak kata-kata dan watak bilangannya, maka “sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan membuat = angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus didampingi buku2 kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta, Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” = 0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Caka atau 1478 M.

Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi” Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka, “kertaning Bumi” terbuka untuk ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau “dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak punya arti sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja.

Apakah “Sirna Ilang Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? “Dibuat Bumi”, kita bisa menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana itu adalah Pagunung Anyar alias erupsi gununglumpur. Wallahualam Bisawab ! Hanya Tuhan yang Tahu, tetapi kronik sejarah macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi Sengkalan, dan geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana alam adalah faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning Majapahit – Senja Kala di Majapahit.

Sidoarjo atau lebih dikenal sebagai bencana Lumpur Lapindo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).


Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.

Ditulis oleh : Awang H.S Editor: I Made Dwija Suastana
Sumber: Wikipedia & Berbagai sumber

Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar