Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Minggu, 05 Desember 2010

Ikhtisar Gelar (Titel) Tri Wangsa Menurut Raad Van Kerta

Saudara sekalian,

Adapun catatan ini penulis anggap hanya sebagai penambah wawasan belaka. Semata-mata karena ketertarikan penulis akan budaya leluhur beserta dgn nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tri Wangsa menurut seorang ahli hukum (adat) Bali lampau Mr. Gde Panetje adalah terdiri dari Wangsa Brahmana, Ksatriya, dan Wesya. Sejatinya, Tri Wangsa ini adalah ciptaan Belanda untuk kepentingan politik Pemerintah kolonial Belanda supaya mudah melakukan social control di Bali. Untuk itu, melalui sebuah konferensi yang berlangsung 15-17 September 1910, Belanda merekonstruksi sistem kasta baru dengan golongan triwangsa di atas sudra.


Yang dimaksud dengan Raad Van Kerta adalah lembaga peradilan adat ciptaan pemerintah kolonial yang pernah mengatur sistem kehidupan sosial-adat Bali pada era 1930-an sampai menjelang tahun 1952(sebelum diganti menjadi Pengadilan negeri, 1952). Raad Van Kerta di Bali yang terkenal adalah di Klungkung (Kerta Gosa) dan Singaraja.

Mengenai Raad Van Kerta ini, dalam sebuah ruang diskusi terbatas yang digelar oleh Bali Post tahun 2004, seorang tokoh agama Hindu,yakni IB Gunada juga sepakat dengan Dewa Mardiana (peserta diskusi) soal peradilan agama. Kata mantan Sekjen Parisada Pusat ini, sejak dihapuskannya Raad van Kerta, umat Hindu di Bali kurang mendapatkan keadilan dalam bidang agama dan adat. Misalnya, jika umat kehilangan pratima yang diukur hanya materialnya. Sementara nilai kesakralannya tak terjangkau hukum. Karena itu, perlu peradilan adat dan agama. Sekretaris Peradah Bali(waktu itu) I Nyoman Mardika juga menyebut berbagai kasus. Kepemilikan tanah sering menjadi masalah krusial dalam sistem adat di Bali.


Share/Bookmark