Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Jumat, 29 Oktober 2010

Bunga Rampai Tentang Kasta, Warna & Wangsa Dalam Kehidupan Sosio-religius Masyarakat Bali

Catatan Berikut adalah kumpulan artikel tentang Kasta,Warna, Wangsa terkait dengan link yang pernah penulis angkat dalam profile pribadi penulis di akun facebook ini yang bersumber dari link kompas.com http://regional.kompas.com/read/2010/05/20/17342986/Sistem.Kasta.di.Bali.Perlu.Diluruskan.-5 (kompas.com mewawancarai saudari Saraswati Dewi)

Menjadi perbincangan cukup hangat dari saudara-saudara penulis yang begitu concern terhadap masalah ini(silahkan masuk ke profile penulis kalo ingin menyimak). Lebih khusus lagi, catatan ini penulis persembahkan dalam rangka memperingati hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2010 lalu.
Adapun maksud membuat bunga rampai ini (sesuai dgn topik diatas), adalah semata-mata sebagai penambah wawasan, memperkaya khasanah berpikir dalam nuansa keragaman paradigma pembaca masing-masing. Tentunya, sebagai masyarakat awam, kita tidak perlu mempertentangkan segala sesuatunya dlm debat kusir yg berkepanjangan. Dalam kehidupan nyata, marilah kita jalani swadharma masing-masing menuju peningkatan kualitas & kuantitas diri sebagai umat, & mahluk sosial. Semoga Pikiran Yang Baik Datang dari Segala Arah!
*********************************************************


Oleh: Drs. Ketut Wiana,M.Ag(Dosen IHDN Denpasar)
Dikutip dari Artikel pada Harian Bali Post

Daivaadyantam tadiiheta.
Pitraadyantamna tad bhavet.
Pitradyantam twiihamaanah.
Ksipram nasyati sanwayah.
(Manawa Dharmasastra, III.205)
Maksudnya:
Hendaknya seseorang itu memuja leluhur dengan upacara Sradha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan Tuhan sebagai yang tertinggi. Hendaknya jangan memulai dan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Karena ia yang melakukan hal itu akan hancur bersama keturunannya.

SLOKA Manawa Dharmasastra ini menyatakan bahwa pemujaan leluhur bukanlah berdiri sendiri. Karena kalau hanya memuja leluhur akan sampai pada leluhur. Memuja Bhuta akan sampai pada Bhuta. Pemujaan leluhur itu adalah dalam rangka memuja Tuhan. Tentu sah saja bagi mereka yang sudah mencapai tingkatan Maha Resi hanya memuja Tuhan secara langsung tanpa melalui pemujaan pada Bhuta dan leluhur.

Memuja Bhuta artinya manusia hendaknya mencurahkan kasih sayangnya dalam melestarikan unsur-unsur Bhuta dalam wujud sarwa prani. Demikian juga memuja leluhur (Dewa Pitara) berarti menghormati dan menyatukan diri dengan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan.

Keharmonisan dan persatuan dalam alam dan leluhur itulah sebagai suatu wujud kehidupan yang akan mendapat anugerah Tuhan. Puja artinya sembah. Kata sembah memiliki lima arti yaitu menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Dalam Manawa Dharmasastra III.203 menyatakan, pemujaan sebelumnya akan memperkuat pemujaan belakangan. Jadinya semua pemujaan sebelumnya untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Kalau hanya memuja leluhur saja tidak dalam rangka memuja Tuhan maka orang itu akan hancur bersama keturunannya sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas.

Pemujaan kepada leluhur memiliki dua dimensi yaitu berdimensi sosial untuk merukunkan dan menyatukan keturunan atau wangsa. Sedangkan dimensi spiritualnya untuk memuja Tuhan sebagai tujuan yang utama dan tertinggi. Dari sistem pemujaan leluhur ini terbentuknya wangsa atau soroh. Sistem soroh itu tujuannya sangatlah mulia karena memiliki tujuan yang horizontal dan vertikal.

Tujuan horizontal adalah untuk merukunkan dan menyatukan keluarga dalam satu keturunan atau wangsa. Hidup rukun merupakan kebutuhan sosiologis setiap manusia normal. Karena Tuhan pun tidak mungkin dapat diraih dengan bermusuhan, apa lagi sesama saudara dalam satu keturunan. Jadi sistem pemujaan Tuhan melalui pemujaan leluhur itu bertujuan untuk merukunkan dalam proses menyatukan keluarga dalam satu keturunan.

Adanya sistem wangsa atau soroh dalam masyarakat Hindu berasal dari konsep pemujaan leluhur sebagai persiapan untuk lebih maju memuja Tuhan. Sayangnya umat Hindu di Bali salah menerapkan sistem wangsa atau soroh ini. Sistem wangsa atau soroh ini dijadikan dasar menentukan sistem Catur Varna. Inilah kesalahan yang sangat fatal yang menyebabkan citra Hindu menjadi sungguh tercoreng dalam masyarakat luas.

Sistem wangsa dan sistem Catur Varna tidak memiliki hubungan konsepsional. Sistem Catur Varna dasarnya adalah Guna dan Karma. Dalam berbagai Sastra Hindu menyatakan bahwa hendaknya orang mendapatkan penghidupan dan kehidupan sesuai dengan Varna-nya.

Hidup yang bahagia itu adalah hidup berdasarkan varna-nya. Ini artinya hidup dan bekerja sesuai dengan minat dan bakat itulah syarat hidup untuk mencapai kebahagiaan. Negara (raja) harus mampu menjamin kehidupan yang seperti itu. Negara tidak akan nyaman kalau hanya segelintir ksatria (pemimpin) dan waisya (pengusaha) yang hidupnya sampai berlebihan.

Sumber konflik yang paling laten dalam masyarakat Hindu akan hilang apabila sistem wangsa dikembalikan sebagai sistem sosial religius untuk membangun kerukunan keluarga dalam rangka memuja leluhur (Dewa Pitara) dan memuja Tuhan. Karena tinggi-rendahnya harkat dan martabat seseorang tergantung pada kualitas perilakunya.

Tinggi-rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak ada hubungannya dengan wangsanya. Bahkan, dalam Bhagawad Gita XVI.15 menyatakan bahwa orang yang meninggi-ninggikan wangsanya (abhijanavaan) terhadap wangsa orang lain dinyatakan sebagai sifat keraksasaan (Asuri sampad). Jadi, dasar itu menentukan sistem Catur Varna bukanlah sistem wangsa, tetapi ditentukan oleh guna dan karma.

Orang yang mencari soroh atau asal-usul wangsanya akan sangat mulia kalau dimaksudkan untuk meningkatkan kerukunan dan bakti kepada Dewa Pitara dan Tuhan. Kalau untuk mencari posisi tinggi-rendah keberadaan wangsanya itulah adalah sangat identik dengan perilaku Asura.

Kerukunan menurut sistem Hindu dibangun melalui kerukunan keluarga, kerukunan teritorial, kerukunan profesional dan kerukunan universal. Empat tahap kerukunan itu dibangun melalui sistem pemujaan leluhur dan Tuhan.
=================================
Pemaparan Drs.IGst Agung Gede Putera mantan Dirjen Bimas Hindu Budha yg menyatakan bahwa:"Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman.Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna"
*******************************************************
Dalam Bhagavad Githa Disebutkan:
Kewajiban para brahmana, ksatria, waisya dan sudra, dibedakan sesuai dengan guna yang muncul dari sifatnya sendiri. (Bhagavad-Gita XVIII.41)
----------------------------------------------
Menurut Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi dari Geria Tamansari Lingga Ashrama Jalan Pantai Lingga Singaraja,dlm blog beliau Stitidharma.org, mengatakan,"Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu.Mereka yang bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi diri sendiri."
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Seorang penulis, pemerhati masalah agama Hindu, Ngakan Putu Putra mengatakan dalam website iloveblue.com,"kalau marga di Batak dan Manado tidak mengandung unsur hierarkis, di Bali wangsa itu, karena latar belakang sejarah dan adat mengandung unsur pelapisan sosial yang memiliki hak-hak khusus berdasarkan keturunan, misalnya soal jabatan tertentu (sulinggih), soal bahasa (sor singgih), soal kewajiban adat (ngayah waktu suka duka), Karena memiliki hak-hak khusus berdasarkan keturunan, ia sama dengan kasta. Bhisama Catur Warna, tidak menghapus wangsa! Keberadaan wangsa tetap diakui. Siapa yang dapat mengingkari garis keturunan seseorang? Misalnya sbg contoh Si A tetap syah memakai gelar Ida Bagus, dan tetap sah menamai putranya Ida Bagus atau Ida Ayu. Tetapi Si A tidak memiliki hak-hak khusus sehubungan namanya itu. Si A memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan umat yang lain, misalnya soal ngayah di pura, soal suka duka. Nanti kalau sudah jadi Pedanda, baru Si A berwarna Brahmana. Nah, pada waktu jadi Pedanda ini baru Si A mendapat hak-hak khusus terkait dengan jabatan sebagai Pedanda.
*****************************************************
Menurut Dr.I Wayan P.Windia, ahli hukum adat Bali, ada empat faktor penyebab munculnya konflik yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di antara empat faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian, kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta perebutan pengaruh dan kekuasaan di desa adat, senantiasa dapat dijumpai dalam setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang ini.

SIMPULAN

Dari Penulis, simpulannya sangat singkat yakni SAYA BANGGA SEBAGAI ORANG BALI. Suatu kebanggaan yang berdiri diatas berbagai keragaman yang ada. Keberagaman yang ada seyogyanya diolah menjadi kekuatan dalam menggapai berbagai peluang, potensi kehidupan masa kini dan masa depan yang penuh dengan tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan. Nasionalisme yang disinyalir sudah mulai luntur saat ini, hendaknya dimaknai sebagai tantangan agar memacu segenap komponen masyarakat Bali dan Indonesia pada umumnya untuk membuktikan bahwa sejatinya kita dapat bersatu dalam perbedaan. Sebagai bagian dari NKRI, sudah tentu masyarakat bali memiliki kewajiban sebagai warga negara untuk memelihara kebhinekaan hidup berbangsa, bernegara, bermasyarakat agar tetap dalam bingkai Pancasila yang ber-bhineka Tunggal Ika.

KESAN/SARAN

Keragaman Paradigma yang berkembang diantara kita adalah nuansa yang sangat indah dalam memperkaya kuantitas & kualitas diri dengan menepikan egoisme berlebihan dalam menyikapi suatu hal. Penulis mengajak segenap semeton Bali dimanapun berada untuk senantiasa eling dengan ajaran-ajaran leluhur sebagai cermin dalam menapak masa depan Bali & Bangsa Indonesia yang lebih baik. Ajeglah Bali-ku, Jayalah Nusantara-ku, Indonesia!
Share/Bookmark

5 komentar:

  1. Trims bli..selama ini saya susah menjawab pertanyaan orang terkait ini. sekarang ada gambaran.

    Namun, apabila demikian adanya, apakah percampuran antar wangsa itu dibolehkan? seringkali saya melihat kejadian dimana beberapa brahmana sendiri menentang hal tersebut. terutama bila berkaitan dengan keluarga mereka sendiri?

    dalam konteks yang lebih luas, bagaimana menyikapi pernikahan dengan wangsa/bahkan agama lain?

    sampai dimana kebenaran akan hal tersebut dapat dibuktikan?

    salam//
    Hangga

    BalasHapus
  2. Dear Angga,

    Terima kasih atas atensinya. Menurut hemat saya, perkawinan campuran antar bangsa pun tidak ada yang melarang.Apalagi perkawinan antar wangsa yang notabene suku Bali sendiri. Memang, apa yang Angga ungkapkan benar adanya. Itu terjadi di sementara oknum keluarga wangsa tertentu. Namun, jgn menutup mata bahwa ada juga keluarga wangsa"Tinggi" begitu fleksible dalam kehidupan adat budaya keluarganya. Oiya, apa facebook address-nya angga?Saya ada catatan cukup menarik mengenai hal ini....Salam..

    Dwija

    BalasHapus
  3. Dear Bli Dwija,

    Kebetulan ibu saya berasal dari wangsa yang (katanya) cukup tinggi. bujangga waisnawa namun keluarganya mendukung perkawinan antar wangsa: Buktinya saya bisa lahir dan bulis komen di blog ini :)

    Tapi ada sebagian kasus (seringkali teman) yang tidak seperti itu dan akhirnya harus rela "dibuang" dari komunitasnya. keadilan macam apa itu??aneh juga untuk Bali yang terkenal dengan toleransinya.

    Saya salut jika ada yang berupaya untuk menghapuskan hal ini, jangan sampai ada "belanda" kedua yang mencoba memecah belah adat dan warisan budaya yang begitu luhur hanya karena kepentingan modernisme ataupun politik.

    Saya sendiri sedari dulu berdiri di golongan yang tidak mau ikut campur dalam kehidupan pribadi orang lain selama tidak merusak nilai-nilai moral yang sifatnya general. Makanya akhirnya memutuskan bahwa Bali bukan tempat saya untuk hidup dan berkembang dewasa.

    Oh, akun FB saya : panjoel_melon@yahoo.com
    tolong dibagi-bagi catatannya ya Bli. ditunggu respon dan posting bli selanjutnya

    BalasHapus
  4. Dear Bli Dwija,

    Kebetulan ibu saya berasal dari wangsa yang (katanya) cukup tinggi. bujangga waisnawa namun keluarganya mendukung perkawinan antar wangsa: Buktinya saya bisa lahir dan bulis komen di blog ini :)

    Tapi ada sebagian kasus (seringkali teman) yang tidak seperti itu dan akhirnya harus rela "dibuang" dari komunitasnya. keadilan macam apa itu??aneh juga untuk Bali yang terkenal dengan toleransinya.

    Saya salut jika ada yang berupaya untuk menghapuskan hal ini, jangan sampai ada "belanda" kedua yang mencoba memecah belah adat dan warisan budaya yang begitu luhur hanya karena kepentingan modernisme ataupun politik.

    Saya sendiri sedari dulu berdiri di golongan yang tidak mau ikut campur dalam kehidupan pribadi orang lain selama tidak merusak nilai-nilai moral yang sifatnya general. Makanya akhirnya memutuskan bahwa Bali bukan tempat saya untuk hidup dan berkembang dewasa.

    Oh, akun FB saya : panjoel_melon@yahoo.com
    tolong dibagi-bagi catatannya ya Bli. ditunggu respon dan posting bli selanjutnya

    BalasHapus
  5. OSA,
    Angga, terima kasih.Baik n buruknya Bali adalah tanah tumpah darah saya. Tuk memperbaiki Bali saya kira kita harus ada didalamnya. Perspektif yang obyektif memang biasanya kita akan dapatkan apabila berada di luar(sudut netral). Namun, saya, ANgga, n semeton muda Bali lainnya yg nanti akan menentukan masa depan Bali kedepannya. Mari....Rahajeng sareng sami

    BalasHapus