Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Rabu, 30 September 2009

My Autobiografi, An Endless Journey

OTOBIOGRAFI:
I MADE DWIJA SUASTANA
*Perjalanan Tiada Akhir*
________________________________________


I Made Dwija Suastana, adalah pencetus lahirnya organisasi kepemudaan/mahasiswa di kampus Universitas Warmadewa pada tahun 2005. Organisasi ini diberi nama Pasemetonan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Warmadewa, yang biasa disingkat PMHD UNWAR. Di organisasi inilah Dwija, Demikian lelaki ini akrab dipanggil, memperpanjang kiprahnya sebagai generasi muda yang kreatif dan nasionalis. Disamping itu, ia juga sebagai seorang pekerja di sektor pariwisata yang ulet.
Berikut tersaji otobiografi putra bangsa kelahiran Desa Sembung, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali pada tanggal 23 Oktober 1979 ini, sebagai berikut:
…………………………………………………..


Sejarah dan Gambaran Diri


Pengantar
Gambaran diri seseorang tidaklah terbentuk seketika. Ia dinamis dan bertalian dengan proses belajar seseorang. Saya memberi judul tulisan ini “Sejarah dan Gambaran Diri”. Tulisan ini dibagi pada beberapa sub berdasarkan tingkat pendidikan. Memang tidaklah mudah menulis gambaran diri. Karena, batas antara menyampaikan fakta dan keinginan manusiawi “dihargai” teramat tipis.

Sebuah “auto-biografi” cenderung menyampaikan informasi selektif. Oleh karena itu, saya bertumpu pada “kesadaran” bahwa banyak orang lain mengalami hal luar biasa dalam perjalanan menuju kematangan. Sehingga, saya dapat lebih objektif “menilai” diri sendiri.

Semasa SD (Sekolah Dasar): Putra Seorang Pendidik

Orang tua saya adalah sosok ideal orang tua masa kini yang modern, keras dan ulet. Ayah saya, bernama Drs. I Made Purwa Astawa, seorang pensiunan guru, mantan pengawas sekolah dan mantan kepala sekolah SD. Pengabdian beliau yang lebih dari 30 tahun sebagai tenaga guru membuahkan sebuah lencana emas dari Presiden RI, K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ibu saya, bernama Ni Nyoman Sudani, SPd. Saat ini beliau masih aktif sebagai tenaga pengajar dan Kepala Sekolah Dasar di desa tempat kami berasal.

Orang tua kami menikah pada awal tahun 1976. Saya adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak perempuan saya saat ini sudah menikah dan dikarunia 3 orang anak.Sedangkan adik laki-laki saya juga sudah mendahului menikah dengan dikarunia seorang anak perempuan. Sekarang tinggal saya saja yang masih membujang.

Ayah saya, adalah seorang yang keras, rajin dan penyayang. Beliau juga keras dalam mendidik saya. Pernah suatu ketika, pada saat kelas 1 SD, nilai rapor saya jelek karena waktu itu saya belum bisa membaca. Akibatnya, saya “kesepekang” hampir selama 1 bulan oleh ayah saya. Namun, dengan semangat “jengah” saya pun puputan belajar dengan bimbingan kakak perempuan saya, agar bisa membaca. Dan pada akhirnya, menginjak kelas 2, nilai rapor saya menanjak dan saat kelas 3, saya mendapat juara III di kelas. Menginjak kelas 4, saya mendapat tugas tambahan dari Ayah untuk memelihara bibit anggrek dirumah. Alhasil, setiap hari pulang sekolah, sore harinya saya bertugas menyirami kebun anggrek yang cukup luas di halaman rumah. Rumah kami cukup luas dan rindang khas pedesaan. Tepatnya di Banjar Karangjung, Desa Sembung, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Memasuki kelas 5, saya mendapat kepercayaan untuk mewakili sekolah saya yakni SD No.3 Sembung dalam lomba murid teladan tingkat koordinator desa Sembung. Namun hasilnya sangat mengecewakan saya, untuk pelajaran matematika saya hanya mendapat nilai 3. Saya gagal bersaing dalam ajang murid teladan ini. Dan kelemahan yang masih saya warisi sampai sekarang adalah saya kurang mahir berhitung.

Ibu saya yang juga seorang guru, memiliki sifat lembut dan perhitungan secara ekonomis. Beliau juga sangat menyayangi anak-anaknya. Kami selaku anak-anaknya sangat bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi karena memiliki orang tua lengkap yang mengasihi kami.

Hal yang tidak pernah saya lupakan adalah tatkala ayah saya mendongeng/bercerita dongeng Bali, tentang Kisah Siap Selem(kisah Si ayam hitam), yang begitu terkenal masa anak-anak saya. Terlebih, beliau banyak sekali menanamkan nilai-nilai kebajikan pada cerita itu. Dan, mendongeng ini biasanya dilakukan sewaktu saya dan saudara-saudara akan berangkat tidur. Menginjak kelas 6, saya sudah siap-siap akan memilih sekolah SMP. Keinginan saya adalah sekolah di SMP Negeri dekat rumah, namun, ayah saya bersikeras agar saya sekolah SMP di SMP favorit di Kota Mengwi, sekitar 10 km dari desa saya. Saya lulus SD tahun 1991 dengan hasil cukup baik. Dan pada akhirnya saya “dengan terpaksa” sekolah di SMP pilihan ayah saya.

Semasa SMP: Ketua Kelas, Pramuka dan Naik Sepeda

Saya masuk SMP pada tahun 1991, bersekolah tepatnya di SMP 1 Mengwi. Dan atas saran ayah, saya dititipkan kepada saudara Ibu yang berada di Desa Mengwi. Kebetulan rumah asal Ibu saya adalah dari Mengwi. Sebenarnya, alasan orang tua menitipkan saya disana adalah agar saya belajar hidup mandiri, lepas dari orang tua dan hidup sederhana. Dan saya diperbolehkan pulang setiap malam minggu. Disamping itu, kebetulan saudara sepupu di Mengwi ini, ketiganya pintar-pintar, semua berpredikat juara kelas. Mungkin harapan ayah, kepintaran mereka bisa menular kepada saya, atau paling tidak saya bisa belajar kepada mereka.

Tinggal bukan dengan orang tua kandung, sejujurnya sungguh tidak mengenakkan. Saya jadinya belajar menyesuaikan diri. Paman dan Bibi saya menerapkan pola hidup sederhana dan bersahaja. Walau mereka keduanya adalah pegawai negeri. Paman saya, seorang kepala sekolah pada masa itu, sedangkan Bibi, pegawai negeri sipil di kantor BKKBN. Awalnya memang cukup berat, tapi lama-kelamaaan jadi terbiasa.

Masa SMP, saya lalui dengan cukup baik. Walau tanpa prestasi yang membanggakan. Namun, pada masa itu, pengenalan terhadap Pancasila melalui Penataran P4 saya resapi dengan sangat positif nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya. Terlebih saya punya seorang guru PMP(Kewarganegaraan sekarang), yang sangat cerdas yakni, Ibu Christiana Laure, dari NTT. Butir-butir luhur Pancasila,benar-benar tertanam secara apik dalam sanubari saya terlepas dari apa yang terjadi terhadap perjalanan pengajaran Pancasila tersebut. Namun, bagi saya Pancasila adalah masih sangat relevan sebagai pedoman bangsa Indonesia yang plural ini sampai kapanpun.

Di SMP, saya sempat jadi ketua kelas beberapa kali, bahkan dibidang ekstra kurikuler Pramuka, saya sempat beberapa kali mewakili sekolah dalam acara-acara kepanduan tingkat kabupaten Badung yang pada masa itu masih menyatu dengan kota Denpasar. Yang paling membuat saya bangga waktu saya jadi anggota pramuka, adalah ketika di pundak saya ada tanda kecakapan khusus pramuka, yang bernama TKK(tanda kecakapan khusus), berupa pin kain yang langsung menempel di baju coklat pramuka saya, apalagi ketika saya mendapatkan selempang kebesaran pramuka, terasa sangat gagah waktu itu.

Pada kesempatan senggang, saya paling senang jalan-jalan naik sepeda keliling kota kecil Mengwi bersama teman-teman. Bahkan seringkali waktu kami isi dengan main-main ke Pura Taman Ayun yang tamunya cukup ramai. Disini, kemampuan bahasa inggris saya mulai muncul. Seringkali saya iseng menyapa tamu-tamu yang berkunjung ke Pura kerajaan Mengwi ini.
Saya menamatkan SMP pada tahun 1994. Pada awalnya sesuai dengan ketertarikan saya terhadap pelajaran bahasa Inggris, saya ingin melanjutkan ke sekolah pariwisata. Namun, lagi-lagi, ayah saya mengalihkan cita-cita saya. Ayah menyarankan saya untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum, bukan langsung ke sekolah kejuruan. Hati kecil saya berontak. Tapi apa daya, tak kuasa menolak keinginan orang tua. Ibu saya, hanya bisa pasrah menuruti kehendak ayah. Lagi-lagi, ayah menjadi ‘batu sandungan’ keinginan saya sekolah di SMIP(Sekolah Menengah Industri Pariwisata), dan akhirnya saya diterima di sekolah umum. yakni, SMAN 1 Mengwi.

Semasa SMA: Pemalu, lomba gerak jalan dan Paskibraka

Seperti anak-anak remaja pada umumnya, umur 15 tahun keatas adalah usia yang rawan. Dalam arti usia peralihan dari anak-anak ke masa remaja. Demikian juga saya, menjelang tamat SMP dulu, sudah mulai timbul rasa suka terhadap lawan jenis. Namun, ternyata, jiwa pemalu yang melekat dari diri saya menjadi faktor dominan yang menghalangi. Masa-masa SMA saya lewati dengan biasa-biasa saja. Terkait dengan hubungan dengan lawan jenis, jujur, termasuk banyak teman perempuan yang mendekati saya. Namun, rasa minder dan malu lah yang menghalangi saya untuk mendekatkan diri ke mereka.

SMAN 1 Mengwi, adalah salah satu sekolah unggulan di daerah saya. Tidak heran, kegiatan yang berskala cukup besar selalu menghampiri aktifitas almamater saya. Dari sekian kegiatan intra sekolah yang saya pernah ikuti diantaranya adalah lomba gerak jalan, paskribaka tingkat kecamatan (kebetulan waktu itu bertepatan dengan perayaan 50 tahun Indonesia emas). Jadi, setiap kecamatan seluruh Indonesia, wajib membentuk tim paskribaka lengkap seperti format tim paskibraka di pusat Jakarta. Nah pada saat itu saya menjadi pasukan inti pengibar bendera merah putih, bergabung di pasukan 8. Jiwa nasionalisme saya yang terpupuk sejak Sekolah Dasar, kembali dibakar dengan kegiatan-kegiatan pada masa SMA. Ada kejadian menarik dan tidak akan pernah saya lupakan. Waktu itu, 17 Agustus 1995, saya sebagai pasukan pengibar bendera saya kebagian mengulur tari bendera. Pada saat latihan dan geladi resik, semua lancar-lancar saja. Namun pas hari H-nya, ada kecelakaan fatal. Saya melakukan kesalahan pada saat memberikan tali bendera kepada teman. Mestinya saya memberikan bagian tali yang harus diulur oleh teman saya. Tapi, saya mengulurkan bagian yang untuk ditarik. Tak ayal, terjadilah saling tarik-menarik antara saya dan teman sesama paskibraka tersebut. Untung, ada salah satu guru yang bertugas melihat kejadian ini. Saya dibisiki untuk menarik tali tiang bendera merah putih tersebut. Kejadiannya seper sekian detik, drumband Indonesia raya sudah berkumandang, saya masih tarik-tarikan dengan teman tadi. Namun, syukurnya, bendera merah putih dapat sampai dengan selamat di angkasa lapangan umum Mengwi waktu itu.

Saya sangat menyesali kejadian itu. Saya gagal menjalankan tugas dengan sempurna. Sampai saya menangis sejadi-jadinya waktu itu. Karena tugas mengerek bendera merah putih tidak bisa saya jalankan dengan sempurna. Beberapa Pembina dan guru saya mencoba menenangkan saya. Alhasil, setiap ada tayangan 17 Agustusan, saya selalu ingat kejadian ini.

Saya akhirnya lulus SMA tahun 1997. Oleh Ayah, saya diarahkan untuk melanjutkan ke STPDN(Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang terkenal sekolah calon pengawai negeri sipil itu. Sejujurnya saya menentang keinginan ayah saya. Karena saya ingin melanjutkan ke sekolah pariwisata STP (Sekolah Tinggi Pariwisata), Nusa Dua. Namun, lagi-lagi, ayah menjadi “batu sandungan”. Tapi, tak mengapa demi bakti saya pada orang tua, begitu pikir saya waktu itu.
Serangkaian tes STPDN saya jalani, namun karma berkata lain, saya gagal. Saya kecewa, saya marah, saya benci dengan ayah waktu itu. Padahal saya harus mengubur keinginan untuk ikut testing di sekolah lainnya demi sebuah sekolah idaman bernama STPDN ini.

Semasa Kuliah di LP3I: Pemulihan Kegagalan yang Berbuah Manis

Sempat 3 bulan uring-uringan, akhirnya saya iseng-iseng baca surat kabar. Ada sebuah lembaga diploma yang masih membuka pendaftaran. LP3I (Lembaga Pendidikan & Pengembangan Profesi Indonesia) Cabang Bali. Akhirnya saya diterima di lembaga ini. Saya mengambil program perhotelan jurusan Front Office. Singkat cerita, saya kuliah disini. Tapi saya harus ‘ngajag’atau pulang-pergi dari rumah di Sembung ke Denpasar untuk kuliah. Hal ini dikarenakan saya juga harus merawat kakek (sekarang almarhum yang waktu itu, sakit stroke. Di kampus LP3I ini, perlahan-lahan saya ‘menemukan diri’. Tiap hari penguasaan bahasa Inggris diasah. Mental saya dilatih untuk tampil didepan, belajar bicara didepan banyak orang. Kegiatan perkuliahan berjalan cukup bagus dan membuat saya nyaman. Dan, ditempat ini pun saya mulai mengenal organisasi secara lebih mendalam. Mula-mula saya menjabat wakil ketua panitia orientasi mahasiswa baru, dan puncaknya saya menjadi wakil ketua Forum Komunikasi Mahasiswa (FKM), LP3I Bali untuk periode tahun 1998 – 1999. Saya sangat menikmatinya. Pelan namun pasti, saya mulai bisa melupakan kegagalan STPDN dengan menyibukan diri dalam kegiatan organisasi di FKM LP3I. Dan rasa benci karena menganggap ayah adalah sumber kegagalan saya pun akhirnya sirna. Malah sesungguhnya beliau adalah teman terbaik saya yang men-support saya luar dalam.

Saya tamat LP3I Bali akhir tahun 1999. tapi diwisuda pada awal tahun 2000. Tanpa diduga, saya ternyata masuk tiga besar lulusan terbaik. Pada saat wisuda, saya didaulat memberikan kesan dan pesan. Ini adalah momen pertama kali saya berada di depan ratusan orang undangan. Kaki gemetar, tapi saya memantapkan diri dengan berpidato tanpa teks selama kurang lebih 20 menit. Penuh dengan kritik membangun kepada almamater saya. Dan, aplaus panjang pun membahana begitu saya mengakhiri kesan dan pesan tersebut.

Saat Belajar Mencari Uang: Pindah-Pindah Kerja Mencari Pengalaman

Villa Lalu
Sebetulnya sebelum saya tamat dari LP3I, sebenarnya saya sudah mendapat pekerjaan walau hanya sebagai daily worker (tenaga harian) di sebuah Villa di Seminyak, Kuta pada tahun 2000. Namanya Villa Lalu. Gaji pertama saya waktu itu hanya Rp.169.225,-. Saya hanya kuat 3 bulan disana. Karena secara mental belum siap dengan tekanan bule yang menjadi owner di villa tersebut. Disamping juga penguasaan bahasa inggris saya waktu itu masih belum begitu mahir.

Pertiwi Resorts & Spa
Sebenarnya saya termasuk 'buruh' pelamar pekerjaan, begitu ayah saya bilang. Kenapa demikian karena, setiap ada lowongan di Koran, pasti saya iseng memasukan lamaran. Akhirnya saya mendapat panggilan di sebuah hotel di kawasan Ubud. Namanya Pertiwi Resorts & Spa. Inilah babak baru perjalanan saya mengenal kawasan Ubud secara lebih mendalam. Namun, ‘kegatalan’ tangan saya menulis surat lamaran belum juga hilang. Disaat saya sudah mendalami pekerjaan saya di bagian kantor depan, ada panggilan lagi dari hotel lain, yang masih di kawasan Ubud. Yakni, Ibah Luxury Villas(sekarang Warwick Ibah Luxury Villas). Saya di Pertiwi Resorts & Spa hanya bertahan 2 bulan 21 hari, karena terlanjur diterima di Ibah Luxury Villas ini. Kepindahan saya ke hotel Ibah ini, mengharuskan saya untuk kos di Ubud. Karena jarak dari rumah cukup jauh dan sistem kerja yang menggunakan sistem shift mengharuskan saya menghemat tenaga.

Ibah Luxury Villas
Saya mulai kerja di hotel milik keluarga Puri Ubud ini akhir tahun 2000 sampai dengan tahun 2003. Saya bekerja sebagai karyawan di bagian kantor depan. Banyak suka-duka saya alami disini. Banyak pula pelajaran berharga. Mulai dari harus belajar mandiri, karena saya kos, memperdalam bahasa Jepang, dan belajar mebraya atau bermasyarakat. Saya katakan demikian karena, sebagai hotel milik keluarga Puri, karyawan hotel banyak terlibat dalam segala macam bentuk aktifitas adat Puri, disamping bekerja di hotel. Mulai dari ngayah ke Pura, ngayah di keluarga Puri dan lain sebagainya. Itu semua saya lakukan dengan senang hati. Karena saya mendapat kesempatan untuk belajar. Bahkan di Ubud inilah saya akhirnya belajar membuat udeng/ikat kepala dari kain lembaran. Udeng atau kain ikat kepala khas Bali ini, saat ini lazimnya setengah atau langsung jadi. Kain udeng lembaran biasanya dipakai pada jaman dulu. Di hotel ini, saya mengembangkan diri saya dengan cukup baik. Pada suatu kesempatan di tahun 2002, saya ditugaskan oleh pihak manajemen untuk mewakili hotel dalam pameran dunia di Nusa Dua. Pameran bertajuk’World Sustainable Development Expo’ itu mempertemukan saya dengan teman-teman dari hotel-hotel pemenang penghargaan Tri Hita Karana Award. Kebetulan hotel tempat saya sebagai pemenang medali perunggu untuk kategori hotel butik. Logo Tri Hita Karana Award begitu menarik perhatian saya, yakni senjata Trisula yang oleh panitia lomba dipakai juga sebagai simbol Tri Hita Karana.

Terjadinya bom Bali yang pertama tahun 2002 sungguh menggoncangkan dunia pariwisata di Bali pada masa itu. Waktu itu, tamu-tamu banyak yang membatalkan kunjungan. Bali menjadi sepi dan ini berimbas pada nasib kami sebagai karyawan. Dalam satu bulan, saya hanya bekerja sekitar 15 hari. Bisa dibayangkan berapa pemasukan kami per bulannya. Kondisi ini membuat suasana hati saya gundah dan jenuh. Saya diliputi rasa bosan. Saya ingin melakukan hal lain yakni, kuliah lagi.

Saya diskusikan dengan kedua orang tua saya. Dan pada intinya mereka mendukung rencana saya, baik secara moral dan finansial. Kebetulan waktu itu, ayah saya belum pensiun. Waktu itu menjelang pertengahan tahun 2003. Saya memilih Universitas Warmadewa karena secara geografis cukup dekat dengan Ubud, tempat saya tinggal. Dan jurusan yang saya ambil adalah hukum. Kenapa hukum? Pertimbangan saya waktu itu, pariwisata setelah bom Bali tampaknya akan menjadi sulit, saya pikir untuk banting setir dengan menguasai bidang lainnya. Disamping sebenarnya saya ingin lebih mengasah kemampuan bicara saya. Akhirnya jadi juga saya mempunyai predikat, bekerja sambil kuliah. Bekerja di hotel kuliah di fakultas hukum Universitas Warmadewa. Sebuah predikat yang membanggakan saya.

Kuliah Sambil Bekerja: Pindah Ke Hotel Lain, Kuliah Jalan Terus

Sudah hampir 3 tahun saya bekerja di Hotel Ibah, ‘kegatalan’ tangan saya untuk melamar pekerjaan kambuh lagi. Saya mencoba melamar di sebuah hotel yang juga di kawasan Ubud, yakni hotel Puri Wulandari. dan Suksme Hyang Widhi, saya diterima. Proses kepindahan saya dari hotel Ibah ke Puri Wulandari berlangsung cukup alot. Karena owner hotel tidak mengijinkan saya untuk pindah kerja. Sampai-sampai saya harus mencari alasan yang kuat. Dan akhirnya mereka mengijinkan kepindahan saya dengan catatan saya akan diterima kembali kalau mau balik kesana lagi. Sungguh senang dan bercampur khawatir juga. Karena saya juga harus memikirkan kelanjutan kuliah.

Hotel Puri Wulandari
Ditempat ini saya mulai sekitar akhir tahun 2003, dibagian Resort Butler. Gambaran posisi ini adalah sebagai pelayan tamu di villa dan juga sebagai pengatur program tamu selama tinggal di hotel. Sejatinya, latar belakang saya adalah kantor depan, namun, pihak manajemen menantang saya untuk mencoba posisi baru ini. Awalnya memang berat juga, tapi seiring berjalannya waktu, saya mampu menguasainya dengan baik. Saya bersyukur kepada Hyang Widhi, waktu itu mampu mengatur jadwal kerja dengan kuliah saya di Universitas Warmadewa. Walaupun dengan konsekwensi, saya harus pulang-pergi Ubud – Denpasar demi sebuah cita-cita. Semua saya jalani dengan ikhlas dan tabah. Dukungan teman kerja dan pimpinan sangat positif terhadap saya. Dan tak henti-henti saya mengucap syukur dengan kondisi ini. Tuhan memang Maha Pengasih.

Berbagai Kesibukan: Bekerja, Kuliah & Organisasi

Jadwal sehari-hari saya sangat padat. Satu sisi, bekerja dengan sistem shift yang kerapkali berbenturan dengan jadwal kuliah. Disisi lain, setelah mengamati perkembangan di kampus saya, saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam pergerakan organisasi mahasiswa disana. Sumber daya Hindu di kampus Warmadewa kurang tergarap. Maka tidak mengherankan selama hampir 5 tahun, ranah pergerakan mahasiswa Unwar ‘dikuasai’ oleh teman-teman dari daerah timur Indonesia yang kuliah di Unwar. Darah organisasi saya kembali mendidih, begitu mengamati betapa mahasiswa Hindu Bali kalah gesit dalam memanfaatkan momen-momen penting situasi sosial kemasyarakatan yang terjadi disekelilingnya. Dan mimpi saya adalah, membentuk sebuah wadah bagi mahasiswa Hindu di Unwar.

Secara kebetulan, medio 2004 saya diajak oleh seorang teman, untuk main-main ke sebuah secretariat organisasi mahasiswa Hindu nasional bernama KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia). Waktu itu, saya berbincang-bincang dengan seorang pengurus KMHDI waktu itu, I Made Kariada (sekarang anggota KPU Klungkung Bali). Beliau banyak membuka kesadaran saya tentang pentingnya sebuah organisasi Hindu bagi kehidupan masyarakat Hindu itu sendiri. Saya tertarik. Pada waktu itu, tak lupa beliau juga mengajak saya bergabung ke KMHDI. Tanpa berfikir panjang, saya menyanggupinya. Akhirnya, secara resmi saya menjadi anggota KMHDI pimpinan cabang Denpasar pada November 2004 lewat sebuah acara penerimaan anggota baru di Pura Samuan Tiga, Gianyar. Walaupun saya sudah menjadi anggota KMHDI, niat saya untuk membentuk organisasi di kampus Unwar, belum juga padam. Lewat berbagai pembicaraan dengan teman-teman satu fakultas dan dukungan dari KMHDI, tekad saya makin bulat. Mimpi ini harus terwujud.

Namun rencana ini hampir saja buyar, karena lagi-lagi berkat ‘kegatalan’ tangan saya kembali melamar pekerjaan ditempat lain, mengharuskan saya pindah kerja. Karena saya diterima disebuah hotel baru yang juga terletak di kawasan Ubud. Hotel Uma Ubud.

Hotel Uma Ubud: Timbulnya Ide-ide Cemerlang yang Berbuah Manis

Saya pun akhirnya pindah kerja. Bekerja di tempat baru, hotel baru dengan harapan baru. Hotel ini bernama Uma Ubud, milik seorang taipan bisnis terkemuka dari Singapore.
Walaupun hati senang karena bekerja di hotel baru, secara pribadi saya was-was juga. Bisakah saya melanjutkan kuliah sambil bekerja? Agar perasaan saya plong, saya cerita kondisi saya dengan atasan langsung saya yang orang Malaysia. Sheila Ali namanya. Tanpa diduga beliau tidak mempermasalahkan status ganda saya. Sepanjang saya bisa mengatur jadwal kerja dan kuliah katanya. Sungguh senang hati saya. Terlebih waktu itu saat-saat saya akan ujian tengah semester ataupun ujian akhir, Ibu Sheila, demikian saya memanggil beliau, memberi saya keleluasaan asalkan bisa diatur dengan teman kerja. Dan yang paling penting, teman-teman kerja ternyata tidak mempermasalahkannya. Lagi-lagi, ucap syukur saya kepada Hyang Widhi tak henti-henti saya kumandangkan. Namun, sisi minusnya, kepindahan saya ke tempat baru, membuat ide saya membentuk organisasi di kampus Unwar agak terbengkalai.

Sebagai hotel baru, hotel Uma Ubud, memerlukan penataan yang serba baru dan ide-ide baru. Dan disini saya mengerahkan kemampuan terbaik saya untuk itu. Saat saya bekerja di hotel ini, saya sudah resmi menjadi anggota KMHDI. Dan ini sangat membantu dalam pengembangan pola pikir dan wawasan saya di tempat kerja. Hal ini saya buktikan tatkala pembentukan organisasi karyawan sebagai salah satu persyaratan Undang-Undang Ketenagakerjaan di tempat usaha berbadan hukum yang mempekerjakan banyak karyawan. Dari manajemen, mengeluarkan 2 opsi, yakni karyawan memilih membentuk SPSI(Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) ataukah SPTP (Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan).
Perbedaan mendasar dari kedua lembaga ini adalah kalau SPSI, maka unit usaha yang membentuknya akan berada dibawah kepengurusan SPSI diwilayah kerja unit usaha tersebut sedangkan kalau SPTP bersifat mandiri. Kedua organisasi ini diakui secara sah oleh dinas tenaga kerja. Nah, waktu itu saya mengusulkan kepada segenap karyawan dan manajemen untuk memilih membentuk SPTP daripada SPSI. Pertimbangan saya, sebagai hotel baru, lebih baik Uma Ubud konsolidasi internal terlebih dahulu dengan membuat serikat pekerja mandiri yang tercatat resmi di dinas tenaga kerja. Usulan saya diterima secara aklamasi waktu itu. Nama organisasinya saya usulkan bernama SEKAR Uma, singkatan dari Serikat Karyawan hotel Uma Ubud. Menurut saya, sekar juga berarti bunga, dalam bahasa daerah Bali. Sehingga kata sekar ini dapat diartikan sebagai organisasi yang terdiri dari karyawan hotel Uma Ubud, yang diibaratkan sebagai bunga pengharum hotel Uma Ubud. Secara aklamasi usulan ini diterima oleh manajemen dan segenap karyawan. Sungguh bangga saya waktu itu, bisa memberikan kontribusi bagi tempat saya bekerja. Berkat karunia Hyang Widhi, pada bulan Juli 2004saya mendapat penghargaan sebagai karyawan terbaik. Disusul beberapa bulan kemudian saya kembali mendapatkan gelar karyawan terbaik untuk tahun 2004 – 2005. Semua itu saya syukuri sebagai suatu kebetulan dan anugrah Tuhan. Betapa tidak, sejujurnya masih banyak teman-teman kerja yang lebih bagus dari saya, sekali lagi mungkin itu adalah kebetulan dan keberuntungan belaka. Saya pun mendapat kesempatan untuk liburan 1 minggu ke Thailand sebagai hadiahnya. Sungguh pengalaman yang mengesankan.

Terbentuknya PMHD Unwar: Bermodal Semangat & Tekad

Rutinitas pekerjaan dan kuliah saya jalani dengan sabar dan tekun. Dalam kegiatan akademis perkuliahan saya cukup aktif. Kondisi kondusif ditempat kerja membuat saya begitu terpacu dalam menjalani rutinitas akademis. Ide yang tertunda dulu, yakni membentuk sebuah organisasi mahasiswa Hindu di kampus Unwar kembali menghangat. Berbekal sedikit ilmu di KMHDI, saya kemudian mengumpulkan teman-teman yang satu visi. Cukup banyak yang antusias, khususnya di fakultas hukum, tempat saya kuliah. Sejurus kemudian saya menyebar kuesioner terbuka tentang perlunya sebuah organisasi bernafaskan Hindu di kampus Unwar. Dan hasilnya cukup positif, rata-rata responden setuju dengan pembentukan ini. Berdasarkan hal ini, saya memberanikan diri untuk mengumpulkan teman-teman yang setuju. Serangkaian rapat kami lakukan termasuk mengundang teman-teman dari KMHDI untuk memperoleh masukan. Topik rapat semakin mengerucut dengan penamaan organisasi, pada awalnya saya mengusulkan nama FKMHD(Forum Komunikasi Mahasiswa Hindu Dharma), namun oleh peserta rapat digodok lagi, sehingga tercetuslah nama PMHD(Pasemetonan Mahasiswa Hindu Dharma), yang idenya saya lempar pada saat terjadi kebuntuan rapat. Nama itu diterima oleh peserta rapat dengan alasan agar istilah Bali tetap melekat dalam nama organisasi, dengan maksud agar mengundang orang untuk lebih tahu apa itu PMHD.

Dalam proposal pendirian organisasi PMHD, saya mengangkat sebuah spirit tradisional yang sesuai dengan nama kampus Warmadewa. Nilai-nilai itu adalah menjadikan tonggak kebesaran dinasti kerajaan Bali kuno, dengan rajanya Sri Kesari Warmadewa sebagai semangat menggelorakan jiwa mahasiswa Hindu Unwar. Lambang organisasi, idenya saya dapatkan dari pengalaman saya mengikuti pameran dunia di Nusa Dua tahun 2002 lalu. Kebetulan senjata trisula sebagai senjata dewata nawa sanga, menjadi inspirasi Tri Hita Karana Award waktu itu. Disamping senjata dewata nawa sanga (Dewa Sambhu), oleh panitia penyelenggara Tri Hita Karana Award, lambang ini digunakan sebagai penggambaran Tri Hita Karana, filosofi kearifan lokal Bali. Nah, senjata trisula itu pulalah yang menjadi tubuh organisasi PMHD Unwar. Dimana, bidang-bidang tugas organisasi, mencakup bidang parahyangan, pawongan dan palemahan. Akhirnya lahirlah organisasi mahasiswa Hindu di kampus Warmadewa yang kami deklarasikan pada Sabtu Wage, tanggal 11 Juni 2005.Dan yang lebih membanggakan kami waktu itu, acara deklarasi PMHD Unwar, juga dihadiri oleh organisasi non Hindu seperti Formasi(Forum Mahasiswa Islam) Unwar, KMK(Kerukunan Mahasiswa Kristen) Unwar, disamping dari KMHDI, Pekraman Widya Santika Politeknik Negeri Bali, Perwakilan IHDN(Institute Hindu Dharma Negeri), dan tentunya dari unsur kampus Unwar yang terkait. Mulai saat itu pulalah PMHD Unwar mulai berkiprah dalam kancah kepemudaan & kemahasiswaan di Denpasar.

Untuk masalah pendanaan organisasi,awalnya sebagian besar keluar dari kantong saya mengingat PMHD Unwar baru terbentuk.Dana ini, saya dapatkan dari hasil jerih payah bekerja di hotel. Pendapatan per bulan, saya sisihkan untuk mendanai roda organisasi PMHD Unwar. Semua itu saya lakukan dengan ikhlas & ngayah, karena saya yakin, kalau kita berniat baik, maka hasilnya pun pasti akan baik pula.

Walaupun saya kemudian lebih fokus di PMHD Unwar, bukan berarti aktifitas saya di KMHDI Pimpinan Cabang Denpasar mentok.Saya berusaha mensinergikan aktifitas di PMHD dengan KMHDI secara cermat disamping tugas pokok saya mencari nafkah di hotel. Bahkan saya sempat beberapa kali aktif menjadi panitia lomba dokar hias dalam rangka HUT kota Denpasar yang mana penyelenggaranya adalah KMHDI PC Denpasar. Saya sampai minta tambahan libur yang memang jatah saya di hotel demi menangani agenda tetap pemerintah kota Denpasar ini. Semua kegiatan berjalan dengan lancar walau sangat melelahkan saya secara fisik maupun mental. Namun karena semua kegiatan saya jalani secara ikhlas dan bersemangat, semua dapat berjalan dengan baik.

Kegiatan organisasi PMHD Unwar berdasarkan AD/ART-nya adalah berdasarkan penjabaran Tri Hita Karana, sebagai filosofi luhur local genius Bali dalam praktek nyata kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ajaran luhur Mpu Kuturan ini menginspirasi saya mengembangkannya di PMHD Unwar. Dan terbukti disambut baik oleh anggota dan pengurus. Untuk periode pertama, saya didaulat menjadi Ketua PMHD Unwar masa bakti 2005 – 2006. Pada masa kepengurusan saya, kegiatan berskala besar yang kami laksanakan adalah menggelar dharma wacana serangkaian upacara suci Wraspathi Kalpa di kampus Unwar. Ide menggelar dharma wacana ini saya ajukan ke panitia karya. Dan kebetulan PMHD Unwar ikut serta menjadi panitia karya. Nara sumber dharma wacana waktu itu, adalah Ida Pedande Gde Made Gunung dari griya Purnawati Blahbatuh Gianyar. Segala macam bentuk persiapan dharma wacana, PMHD lakukan secara mandiri. Baik ketika harus tangkil ke Griya maupun mengundang pihak Bali TV untuk menayangkan kegiatan itu nantinya. Acara ini sebagai implementasi dari konsep parahyangan dan pawongan PMHD Unwar berlangsung dengan lancar dan meriah. Undangan yang hadir bahkan sampai harus melebihi kapasitas ruang auditorium Unwar.Awighnam astu, acara berlangsung sukses.

Menjelang lengser sebagai Ketua PMHD, saya melontarkan sebuah ide membuat kegiatan eksternal demi mengenalkan PMHD ke dunia luar. Ide tersebut adalah menggelar acara penghijauan dengan bunga Jempiring disepanjang jalan protokol kota Denpasar. Kebetulan waktu itu,bertepatan dengan HUT Pemerintah Kota Denpasar. Ide ini kami konsultasikan dengan pihak Pemkot dan disambut dengan baik oleh pemerintah kota Denpasar. Ide saya ini dijalankan oleh adik-adik pengurus PMHD yang baru pada waktu itu. Dan ternyata mendapat sambutan meriah warga kota Denpasar. Sebagai penggagas acara, saya sempat diwawancarai oleh beberapa stasiun TV daerah Bali dan media massa lainnya. Sungguh pengalaman yang mengesankan saya.

Kesibukan Pekerjaan : Membatasi Diri Demi Periuk Nasi

Berbagai aktifitas yang saya jalani, hampir membuat saya terlena. Saya begitu tenggelam dalam keasyikan aktifitas luar rumah selain pekerjaan membuat kedua orang tua saya khawatir. Ayah mengingatkan saya, untuk tidak begitu larut dalam kegiatan organisasi. Beliau menyarankan untuk fokus ke masa depan, apalagi saya juga kuliah. Menurut orang tua saya, kegiatan perkuliahan dan pekerjaan saja sebenarnya sudah menyita waktu saya. Apalagi ditambah kegiatan organisasi. Saya pun mematuhi nasehat orang tua. Untuk beberapa lama, saya fokus bekerja di hotel Uma Ubud. Namun godaan aktif berorganisasi kembali muncul.
Oleh teman-teman KMHDI saya didaulat untuk membantu pimpinan daerah Bali. Dalam lokasabha PD KMHDI Bali tahun 2006, saya diamanatkan untuk membantu di bidang penelitian & pengembangan. Saya didaulat sebagai koordinator.

Kesibukan di tempat kerja semakin bertambah, saya tidak bisa sepenuhnya aktif di organisasi KMHDI dan PMHD. Apalagi saya menjelang tamat kuliah. Kesibukan semakin berjubel rasanya tatkala mulai menyusun skripsi. Sangat melelahkan. Tapi saya tidak menyerah, saya optimis bisa menggondol gelar sarjana hukum. Apalagi bantuan moril dari orang-orang terdekat saya begitu luar biasa.
Akhirnya setelah melalui perjalanan yang panjang, saya berhasil menamatkan kuliah di Universitas Warmadewa, dengan hasil cukup baik, cumlaude pada wisuda sarjana hukum universitas Warmadewa pada tanggal 17 September 2007. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya yang begitu besar. Atas segala kemudahan-Nya. Seminggu setelah tamat, kemudian ada tawaran dari pimpinan tempat saya bekerja untuk bekerja di luar negeri. Saya tertarik. Akhirnya saya pun dikirim oleh perusahaan ke salah satu jaringan hotel milik perusahaan pusat. Lokasi kerja baru saya adalah di hotel Parrot Cay, yang terletak di kepulauan Karibia, tepatnya di pulau Turks & Caicos, British West Indies.

Bekerja di Negeri Orang: Pengalaman Baru, Darah Organisasi pun Makin Berkobar

Saya mulai babak baru dalam perjalanan karir dengan bekerja jauh dari rumah, sangat jauh. Semua saya pasrahkan kepada Tuhan. Akhirnya pada tanggal 28 Oktober 2007, saya mulai bekerja di sebuah hotel yang terletak pada sebuah pulau milik pribadi. Orang-orang Bali ternyata banyak yang bekerja di sini. Tercatat ada sekitar 60-an orang. Pada awal-awal bulan pertama, saya merasa sangat asing. Namun, saya mencoba bersikap realistis dan optimis, saya pasti bisa beradaptasi.

Akhir tahun 2008 lalu, saya didaulat oleh teman-teman Bali disini untuk menjadi Ketua Sekehe Umat Hindu. Saya tidak bisa menolak. Saya siap ngayah, disamping pada dasarnya saya suka berorganisasi. Dan kembali anugrah Hyang Widhi, bulan April 2009, saya terpilih sebagai karyawan terbaik di hotel ini. Sungguh tidak menyangka dan ini juga saya yakini dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Dan tanggal 27 Juni 2009 kami warga Indonesia di Turks & Caicos Island, kedatangan Duta besar Indonesia untuk Kuba, dalam rangka pencatatan/pendataan atau lapor diri warga Negara Indonesia di Turks & Caicos Islands, disamping sebagai ajang sambung rasa. Dan lagi-lagi saya menjadi ‘korban’, teman-teman Indonesia menunjuk saya sebagai ketua panitia acara. Saya tidak bisa menolak. Saya anggap ini adalah ajang pembelajaran buat saya.

Dari semua perjalanan tanpa lelah yang saya lalui, semua saya dasari dengan rasa ikhlas dan optimis bahwa apa yang kita lakukan sekarang adalah investasi moral dan materiil yang pastinya berguna untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat disekitar saya.

Perenungan Diri, Menuju Kedewasaan

Bagi saya, hidup adalah karma yang harus dijalani dengan ikhlas dan sabar. Saya sangat menyadari bahwa sebagai mahluk Tuhan, saya mempunyai kelemahan. Salah satu kelemahan tersebut adalah, terkadang saya kurang bisa mengontrol emosi dan pelupa. Namun, saya sering melakukan perenungan bagaimana agar hal-hal negative itu bisa saya minimalkan. Dan sampai saat ini, seorang Dwija adalah seorang anak manusia yang masih sedang belajar dan belajar.

Dan, perjalanan ini akan saya teruskan…dan kisah ini akan terus bersambung...sampai suatu saat nanti, tiba waktunya…




Share/Bookmark

9 komentar:

  1. BRAVOOO... Kejujuran pada diri sendiri rupanya...

    BalasHapus
  2. Salute.....

    Terus bagaimana ceritanya dari Made Dwija Suastana menjadi Satria Madangkara.......:)

    BalasHapus
  3. @ Pande Baik: Yach...mari belajar jujur pada diri sendiri, walau kadang menyakitkan..
    @Anonim: Kelanjutannya silahkan baca artikel saya yg lain berjudul: 16 Pebruari..Terima kasih atas atensinya.

    BalasHapus
  4. ...dan bagaimana ceritanya kok blom ada update tulisan lagi ???

    BalasHapus
  5. @ Bli Pande: Ampura, ne sibuk ngurus suksesi Banjar e...tunggu ya..terima kasih atas kunjungannya. Kanggoang rumahnya masih sederhana n berantakan.

    BalasHapus
  6. Mantap... Saya ga habis pikir, bagaimana Bli membagi waktu antara kegiatan kerja, organisasi dan kuliah. Apalagi menghadapi skripsi???
    Share donk dalam bentuk tulisan di blog Bli.

    Salut....

    BalasHapus
  7. Dear Bali & Villas,
    Terima kasih atas kunjungannya. Modal saya cuman semangat n doa aja kok. Ga ada yang istimewa, n sampe detik ini, ternyata saya merasa saya semakin kurang n Nol. Baik, nanti klo ada waktu yg cukup luang saya akan share di tulisan blog.Rahajeng

    BalasHapus
  8. sungguh menggugah sekali tulisannya, panjang dan lebar tapi jujur , mantap salut bli ...

    BalasHapus
  9. Dear Bali Buddy,

    Terima kasih atas kunjungannya. Yach, saya berusaha apa adanya & yang terpenting adalah upaya saya tuk mengabadikan sejarah hidup dalam sebuah tulisan.Rahajeng!

    BalasHapus