Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Minggu, 22 Februari 2009

Balada Wanita Bali, Antara Tradisi & Tuntutan Zaman

Sepertinya catatan penulis ini akan bertalian dengan catatan sebelumnya yang mengulas tentang adat istiadat Bali. Nah kenapa kok selalu tentang adat Bali, Bali dan Bali?? Ya karena saya orang Bali, tentu memiliki tanggungjawab moral untuk concern dengan apa yang terjadi di kampung halaman.

Sebagai bagian dari Indonesia, pulau Bali dikenal dengan keunikan adat istiadatnya. Bahkan, di pulau kecil ini, antara desa A dengan desa B belum tentu sama penerapan kehidupan sosialnya yang terlembaga dalam wadah adat bernama Desa Pekraman. Terutama sekali menyangkut pelaksanaan ritual, awig-awig atau aturan desa dan sebagainya. Adanya perbedaan-perbedaan ini sesungguhnya merupakan kekuatan dan nuansa yang dirangkai oleh para leluhur orang Bali agar dijadikan bunga keindahan yang warna-warni oleh generasi penerusnya. Terkait dengan judul diatas, penulis akan mencoba mengangkat tentang dilema masa lalu seorang wanita Bali yang merupakan kisah nyata yang bersangkutan(hasil wawancara penulis beberapa waktu yang lalu).Dan apabila catatan ini dimonitor oleh dia, dengan hormat, penulis mohon ijin untuk mengangkat dalam sebuah catatan kecil sebagai sebuah refleksi untuk kita semua.
Luh Sukreni (Bukan tokoh dalam karya sastra Panji Tisna-red), adalah sosok wanita Bali modern masa kini, yang keseharian sangat gaul dan aktif. Namun, disisi lain, dia ternyata tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai wanita Bali,seperti mebanten(sembahyang, menghaturkan persembahan suci-red), metulung(membantu sanak keluarga yang punya upacara-red) dll. Seperti lagunya Widi Widiana yang mengatakan'adate tua tekekin dadi suputra...", demikianlah Luh Sukreni menjalani hidup dan kehidupannya secara wajar dan lancar. Namun jangan salah Sukreni gadis Bali kita yang satu inipun tidak kuper, dia gaul abis!! Gaul disini pengertiannya dia sangat fasih berbahasa Inggris, berwawasan luas, punya banyak teman, pekerjaannya mapan, mandiri dan berpendidikan tinggi. Itulah pengertian gaul menurut penulis. Nah...masalah tiba-tiba saja muncul..........apa itu??.......................
=====================================


Luh Sukreni, mempunyai seorang pacar. Mereka pacaran cukup lama dan tibalah waktunya mereka akan menikah. FYI, cowoknya nich..dari sebuah kabupaten di daerah Bali tengah, sedangkan Luh Sukreni Gadis Bali tercinta ini berasal dari sebelah timur pulau Bali, namun sudah tinggal di Denpasar dari sejak kecil.Sebelum menikah menurut tradisi keluarga cowok, Luh Sukreni "diwajibkan" menjalani masa "training" dirumah keluarga cowok(eh..emang training kerja di hotel). dan secara sosial sudah tentu semua orang pada tau tuch..Si Luh Sukreni akan segera menikah dengan si pujaan hati tercintanya. Masalah tiba-tiba muncul tatkala keluarga sang cowok membuat aturan-aturan yang bersifat "HARUS" bagi sang calon menantu tercintanya. Contoh, Sukreni harus bisa mejejahitan, Sukreni harus bisa menyama braya, Sukreni harus ini, harus itu, pendek kata, Luh Sukreni, please prepare yourself as our daughter in law!!.Sejujurnya Luh Sukreni sudah punya modal dasar sebagai wanita Bali yang suputri, sperti yang penulis ulas diatas. Namun, ternyata, dia tidak suka diperlakukan seperti burung dalam sangkar(padahal cowoknya baru punya "burung dalam sangkar"). Dia merasa kebebasannya dibatasi, hak asasi keperempuannya dilucuti(kalo melucuti pakaian lain lagi masalahnya). Dari sisi background keluarga, Luh Sukreni dibesarkan oleh keluarga Bali modern dan spiritualis(terbukti ayah dan Ibunya adalah pemangku(sejenis kyai, pendeta-red) dan disegani, namun ya itu spritualis yang gaul(positif). Sedangkan keluarga sang cowok masih konservatif dan "ndeso"pemikirannya. Maklum, hidup didesa. Luh Sukreni cantik nan malang, akhirnya dihadapkan pada pilihan, milih join facebook(ehhhh...salah! join ma keluarga sang cowok dengan kondisi nurani/bathin yang bertentangan, atau kembali ke ribaan sang khalik...ehh...salah besar...ke pangkuan ibu dan bapak tercintanya). Sebuah dilema dihadapi wanita "semampai" ini. Menurut pengakuannya, dia orang yang mau belajar, sangat nerimo dan sangat fleksible. Namun kalau dipaksa-paksa, tidak sesuai nurani, daripada sakit hati seumur hidup lebih baik terbang bebas, begitu menurutnya. Dia sangat menyesalkan kenapa aturan adat di keluarga dan desa cowoknya begitu ketat---seketat rok mini, katanya. Tapi anehnya, sang cowok pujaan ternyata tidak berpihak padanya. Sang cowok lebih memilih bersama keluarganya. Dan, akhirnya proklamasi berkumandang, pada tanggal 17 Agustus 1945, Luh Sukreni gadis Bali lebih memilih ke pangkuan bapak dan Ibunya daripada bersama sang cowok merenda masa depan dalam sebuah mahligai perkawinan. Batal dech semua, semua pada menanggung malu, semua pada tau, tapi apa daya keputusan udah dibuat. Kita pisah!!! TITIK!!!, ujar Sukreni. Intinya Sukreni, sebagai perempuan Bali merasa hak-haknya sebagai perempuan dan manusia dipasung.Apa itu kesetaraan gender, bullsh**t , katanya lagi. Bukankah Sukreni diatur-atur begitu untuk kebaikannya juga??"Ah...apa kebaikan, itu memenjarakan kebaikan namanya", tambahnya lagi. Terus maumu apa? Adat ditempatnya dia harus fleksible donk, jangan memperlakukan calon menantu begitu, emang aku Siti Maimunah, eh..Nurbaya?? Aku manusia tau, aku punya hak asasi", jeritnya sambil menangis.
---------------------------------------------------------------------
Demikian Luh Sukreni, meratapi kemalangannya.Namun ternyata karena saking kuat mentalnya, dia tidak bersedih begitu lama, dia bangkit, tidak mau terlalu larut. Emang dia aja cowok di dunia!!Huh! Bahkan seperti dituturkan kepada penulis dalam suatu kesempatan,"HUH, aku benci Bali, AKu benci adat Bali yang saklek kayak gitu", ujarnya ketus. Nah...lo...??

February 2009,

Padepokan Pesanggrahan Keramat,

xoxo

ANATSAUS AJIWD

Share/Bookmark

3 komentar:

  1. Hi kuu pumapi gatra ?
    kasihan juga sukreninya
    berarti cinta mereka tak sekuat ucapan mereka .kok gitu aja udah nyerah

    BalasHapus
  2. Iya Dek, kbr saya baik. Yach..tulisan ini saya posting juga di FB...dan lebih seru krn banyak orang "cerdas"(cerewet tiada batas) yang terlibat.

    C u soon,

    S M

    BalasHapus