Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Minggu, 14 Juni 2009

Sekilas Tentang Siat Peteng

Sobat Sekalian,

Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya penuh dengan makna-makna Ilahi yang sangat dalam. Termasuk didalamnya keberadaan dunia nyata dan tidak nyata. Dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah sekala dan niskala. Perang atau pertempuran lumrah terjadi di dunia nyata. Namun perang yang terjadi di dunia niskala atau alam yang tidak kelihatan ini tentu mengundang rasa penasaran anda bukan?


Penulis akan mencoba menguak sedikit tentang dunia niskala yang sumbernya penulis dapat dari wawancara dengan beberapa nara sumber pelaku perang niskala ini. Mereka kebetulan adalah keluarga dekat penulis sendiri yang berprofesi sebagai sulinggih/Pemangku Pura.

Orang tua ini giginya sudah pada tanggal/ompong. Beliau adalah salah satu orang yang dituakan di desa tempat penulis tinggal. Disamping sebagai petani tulen, beliau adalah seorang Pemangku Pura di tempat kelahiran penulis. Pekak Kicen demikian beliau sering disapa,juga masih terhitung kerabat dekat keluarga kami. Pada suatu senja, iseng-iseng penulis ngobrol dengan beliau tentang dunia niskala. Katanya pada era tahun 80-an, beliau sering main-main ke alam lain. Namun mengemban misi yang mempertaruhkan nyawa. Yakni berperang tanding. Wow!.., penulis sangat tertarik mendengarnya.
Dikisahkannya, bahwa alam niskala itu kurang lebih sama dengan alam tempat manusia, cuman bedanya, dimensinya berbeda, menurut beliau, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu,orang-orang yang memiliki karma tertentu atau orang-orang pilihan yang bisa menembus alam lain ini. Dan kalau ikhwal Pekak Kicen menjadi pemangku pun tidak terlepas dari unsur niskala.
Singkat cerita, beliau mendapat 'mandat' dari 'sesuhunan'-nya untuk bertarung menguji kesaktian di medan laga. Merujuk istilah Pekak Kicen adalah bertarung di arena tajen, menjadi 'ayam aduan'. Hari menjelang sore, Pekak Kicen sudah menuju bilik tempat tidurnya. Dia bilang kepada seluruh keluarga dirumah bawa dia mau tidur awal, jangan diganggu katanya. Nah, begitu memejamkan mata, sukma-nya langsung terbang ke suatu tempat nun disana. Dan sampailah beliau di sebuah arena, yang katanya mirib arena tajen atau sabungan ayam. Dan komplit, ada dagang, ada penonton, pokoknya sebagaimana layaknya arena tajen di Bali. Tapi, tokoh-tokoh tajen seperti saye, pekembar, penglingsir, wajah mereka tidak kelihatan jelas. Menurut Pekak Kicen, mereka adalah para sesuhunan Pura yang anak buahnya menajdi ayam aduan di arena tersebut. Mengenai tempatnya, masih menurut Pekak Kicen, seperti berada di atas awan, tapi dia masih bisa menjejakan kaki. Pendek kata, mulai lah Pekak Kicen dan lawannya bertarung, seperti layaknya pertarungan di alam nyata.Menurutnya, selama pengalaman beliau, syukurnya selalu menang tapi kalau terluka sudah sering katanya. Menurut Pekak Kicen, ada aturan baku di dunia siat peteng ini, bagi pihak yang kalah tarung, dalam arti kalah dengan resiko kematian, dia boleh meminta tempo mengulur kapan mau di ambil nyawanya. Hal ini dimungkinkan apabila si pihak yang kalah, masih punya urusan atau tugas di alam nyata. Pernah suatu ketika, diperkuat penuturan orang tua penulis, Pekak Kicen ini sakit keras, namun dokter tidak menemukan penyakitnya. Namun, si Pekak ini mengatakan dia akan sembuh sendiri nanti, tidak perlu diobati karena hanya luka ringan. Secara fisik tidak tampak luka itu, tapi kepada bapak penulis beliau menunjukan di perutnya ada garis sayatan berwarna biru yang sangat tipis dan nyaris tidak kelihatan. Menurut Pekak Kicen, pada saat beliau bertarung siat peteng, lawan yang dihadapi sangat tangguh, sampai membuatnya terluka, namun masih bisa diatasi. Ciri-ciri kalau disuatu tempat ada siat peteng menurut Pekak Kicen, biasanya ada semacam hawa panas, dan udara tidak bersahabat, dan biasanya akan diikuti dengan pemunculan bola-bola api, baik besar maupun kecil.

Hal ini penulis perkuat dengan pengalaman penulis sendiri, ketika bekerja di sebuah hotel di Ubud. Kebetulan waktu itu dapat tugas jaga malam. Waktu itu tepat pukul 01.00 dini hari. Tiba-tiba satpam teman kerja menunjuk-nunjuk sesuatu keatas langit, dan mengajak penulis ikut menyaksikan. Dan tampaklah oleh penulis, 3 buah bola api, beterbangan di udara saling adu tinggi, aneh..! Menurut teman tadi, itulah ciri para tokoh siat peteng sedang adu sakti. Anda para pembaca boleh percaya atau tidak dengan fenomena ini. Dan sebenarnya masih banyak kisah serupa yang terjadi dan mungkin lebih seru. Moga lain kali penulis ada waktu menceritakannya.

Pesanggrahan Keramat Karibia,

Satria Madangkara


Share/Bookmark

5 komentar:

  1. ada tips untuk bisa menghindari siat peteng bro? katanya mesti tidur di lantai ya? pls pencerahannya

    BalasHapus
  2. Waduh, tips yg pas sich ga ada de,ntar aku telepati ma Pekak Kicen, tapi kyknya sich kalo sakit berlanjut hubungi Balian dech..Salam Siat peteng..=))

    BalasHapus
  3. buat bli dev...ada satu buat ngehindari siat peteng
    yaitu.....jangan suka melali peteng2

    BalasHapus
  4. Ga kalah deh dengan Amrik, disana ada perang bintang, di Bali ada siat peteng ..... kata orang pungya aji pengiwan (ngiwe)
    Boleh juga... belajar klo ga berani perang lemah, hajar aja dengan siat peteng alias leakin nasne..

    BalasHapus
  5. Ciri" kalah siat peteng bagaimana bli?

    BalasHapus