Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Senin, 16 Juli 2012

Ical & Mistik Semeru

http://news.detik.com/read/2012/07/03/151822/1956673/103/ical-mistik-semeru?nd992203605

Kolom Djoko Suud

Ical & Mistik Semeru

Djoko Suud - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Ical resmi menjadi calon presiden yang diusung Partai Golkar. Di tengah onak yang kian banyak, Ical dan Partai Beringin semakin berat menanggung beban. Tapi mengapa sang kandidat ini akan mendaki Gunung Semeru?

Ical telah mendeklarasikan diri sebagai salah satu calon presiden yang akan ikut berlaga dalam pemilihan presiden tahun 2014 nanti. Itu diucapkannya Minggu (1/7) di Sentul Convention Hall, disaksikan oleh hampir seluruh kader partai ini.

Acara deklarasi itu terus terang hambar. Suguhan pagelaran tidak padu. Ical dalam kondisi tidak fit. Dan pidatonya terlalu lama, hampir satu jam, di tengah 'kader' yang mulai banyak keluar ruangan. Dalam 'pandangan Jawa', acara itu tidak selayak prosesi kelahiran Satrio Pinilih yang akan memimpin negara dan bangsa. Acara itu kehilangan sakralitasnya.

Deklarasi itu memang dipenuhi orang. Tetapi orang yang menyemut itu tidak punya greget. Dalam bahasa Jangka Jayabaya, pasar ilang kumandange (pasar hilang gemanya). Pasar yang kehilangan rohnya. Keramaian yang kehilangan esensi dari keramaiannya.

Maaf, jika tulisan kali ini bernuansa 'mistik' dan Jawa. Itu karena deklarasi itu mengusung idiom keduanya. Cicip Syarif Soetardjo ketua acara ini menyitir ucapan Pak Harto 'ojo dumeh, ojo gumun, ojo kagetan'. Dan Ical memampang ungkapan Ki Hajar Dewantara 'ing ngarso sung tulada, ing madya bangun karsa, tut wuri handayani'. Itu masih diberi atensi lagi dengan ucapan Ical yang akan mendaki Semeru.

Kalimat yang mengalir dalam acara deklarasi itu memang 'sangat Jawa'. Penuh dengan kalimat 'sepuh'. Kata-kata berjiwa, penuh keluhuran dan keteladanan. Kata itu tidak phisical. Sebab kata itu lahir dari proses surealitas. Kerja batin, yang ketika diucapkan, kata-kata itu tidak hanya sebatas kata. Dia berubah mantra. Kata-kata itu banyak berkata, jauh melampaui makna denotatifnya.

Jika kalimat itu dikaitkan dengan 'perebutan' kekuasaan, maka kata-kata itu 'sangat mistis'. Dia penyaring kelahiran Satrio Piningit (calon pemimpin yang belum muncul), Satrio Pinilih (pemimpin yang terpilih), dan Satrio Pinandito (pemimpin yang lengser keprabon madeg pandito). Pemimpin yang habis masa jabatannya beralih menjadi orang soleh yang meninggalkan sifat keduniawian.

Pak Harto mengucap 'ojo dumeh, ojo gumun, ojo kagetan' bukan tanpa sebab. Dia adalah spiritualis. Sebagai orang Jawa, Pak Harto masih benar-benar Jawa. Dia mengasah batin, menjalani lelaku. Olah rasa itu yang melatari diambilnya kalimat di atas. Maknanya, jangan memandang rendah orang rendahan, jangan sombong jika kaya dan berkuasa. Intinya, jangan menista dan menyepelekan orang lain.

Cicip menyitir ucapan Pak Harto untuk personifikasi Ical itu rasanya melenceng jauh. Sebab Ical bukan orang miskin, orang rendahan, orang tidak punya kuasa, dan bukan pula orang yang dinista. Dia sudah punya segala-galanya. Tak pantas jika kalimat itu disandangkan padanya. Bagaimana dengan mendaki Semeru?

Bagi manusia Jawa, di dunia ini tidak hanya dihuni manusia yang berkelompok dan mempunyai negara (kerajaan). Laut juga ada kerajaan dan pemerintahan, termasuk gunung-gunung. Untuk itu dalam pandangan Jawa dikenal Kerajaan Laut yang dipimpin Nyai Roro Kidul, dan Kerajaan Api yang otonom.

Setiap Kerajaan Api (gunung) punya karakteristik sendiri, dan diyakini ada yang berkuasa. Karakter Gunung Merapi sebagai penyapu kuasa, tengara terjadinya suksesi di jagat manusia, dan lavanya acap mengecoh. Itu tidak lepas dari yang memerintah gunung ini, Kiai Sapujagat dan Mbah Petruk.Gunung Lawu selalu tenang, anggun, dan ber-nas. Gunung ini dikuasai Mbah Lawu, sebutan lain dari Raja Brawijaya. Di lereng gunung ini terdapat Alang-alang Kumitir (Candi Cetho), dipercaya sebagai mukswanya raja itu. (Kendati dalam sejarah tercatat sang raja meninggal dunia normal dan diperabukan di Candi Brahu).

Gunung Kelud letusannya selalu membuat kejutan, dipercaya sebagai pintu masuk datangnya Ratu Adil. Gunung ini dijaga Adipati Tunggul Wulung. Mitos ini nampaknya merujuk pada Raja Jayabaya yang dianggap mokswa.

Sedang Gunung Semeru yang akan 'didaki' Ical, dalam keyakinan Jawa, gunung ini tempat manjingnya Semar. Menyatunya (mokswa) Semar. Sosok laki-laki pendek, gemuk, dan berkuncung itu dianggap mewakili jatidiri manusia Jawa.

Laki-laki yang tidak pernah tercela ini sangat sakti. Dia mengalahkan para dewa. Lahir dari satu telur. Bathara Guru menjadi raja para dewa, Togog mengabdi di Kurawa untuk menyebarkan keburukan. Dan Semar di Pandawa menjaga kebaikan.

Dalam pewayangan, profesinya sebagai batur (embat-embate pitutur), penasihat Pandawa. Dia tidak punya keinginan untuk berkuasa, apalagi menjadi raja. Keluhuran budi yang diutamakan. Memanusiakan manusia yang menjadi prioritas. Dan selalu mengingatkan yang salah jalur untuk kembali ke jalan yang benar.

Jika Ical akan mendaki Semeru, rasanya kok salah jalan. Sebab Semeru bukan untuk berkuasa. Filosofi gunung Semeru adalah tempat orang mendekatkan diri pada Tuhannya. Melakukan introspeksi diri menuju taubatan nasuha.

Terus kalau sudah banyak yang salah begini, harus bagaimanakah Ical? Karena sudah terlanjur bicara mistik, maka solusi mistik dalam kepercayaan Jawa, deklarasi itu harus diulang. Dicari hari baik untuk itu, prosesi sakral dilakukan. Dan itu layak sebagai penyambut datangnya seorang pemimpin baru. Jika tidak, pakem Jawa menggaris tegas, Ical gagal menjadi presiden. Benarkah begitu?

Namanya saja kepercayaan. Yang percaya akan bilang 'ya', yang tidak percaya akan bilang 'tidak'. Agar fair, maka kita lihat sama-sama buktinya, jika saatnya telah tiba, tahun 2014 mendatang.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar