Disclaimer

Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.

Sabtu, 08 November 2008

Suatu Waktu di Sebuah Kota Baru

Pada suatu hari ketika saya memanfaatkan hari libur, berjalan - jalan ke kota bersama teman - teman saya sesama perantauan, karena kami mencari nafkah di sebuah negara kepulauan bernama Turks & Caicos Islands. Providenciales, atau lebih dikenal sebagai kota Provo - Provo City, adalah sebuah kota yang baru berkembang era awal tahun 2000-an.Merupakan pusat bisnis pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah Premier Turks & Caicos Islands, British West Indies. Lokasi negara kepulauan ini, terletak di jazirah kepulauan Karibia, jalur perbatasan Amerika daratan dengan Amerika Selatan (latin). Provo city berpenduduk kurang dari 500ribu jiwa belum termasuk pendatang yang kebanyakan berasal dari Filipina, India, Thailand, Nepal, Indonesia, Haiti, Jamaica dan lainnya.


Ada cerita yang cukup menggelitik saya, ketika jalan - jalan di kota ini. Sebagai bekas Koloni Inggris, Penduduk kota ini adalah penganut Kristus yang fanatik (saya tidak mau mengatakan taat).Provo City sangat kental bernuansa Kristiani dengan banyaknya gereja - gereja di sepanjang jalan. Ketika saya duduk - duduk bersama seorang teman, saya didatangi seorang wanita bule, penampilan sangat meyakinkan sambil bertanya dia ikut duduk bersama kami,dia bertanya apakah kami ini orang Malaysia? Teman saya jawab, oh kami dari Indonesia. Diapun akhirnya menimpali, kebetulan sekali, saya punya sesuatu buat kalian katanya. Kemudian, dia meyodorkan sebuah selebaran kecil warna -warni, diberikan kepada kami. Kamipun menerimanya, kemudian kami masukan dalam tas. Saya tersenyum dalam hati, karena di Bali pun saya sudah pengalaman dengan hal ini. Termasuk Orang tua saya pernah punya pengalaman dengan kejadian ini sewaktu menjadi pengajar di sebuah Sekolah dasar di Bali, ya...sebuah upaya doktrinisasi berkelanjutan untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya ikut dalam sebuah ajaran agama. Walaupun orang tersebut sudah beragama. Doktrinisasi ini oleh teman saya dinamakan sebagai"door to door Marketing". Beragama pun orang - orang perlu diajak, terlepas orang itu mau ikut atau tidak, yang penting ya...jualan. Tidak salah, Portugis, dan Bangsa - Bangsa Eropa piawai berdagang, sampai agamapun mereka perjual-belikan isinya. Itu tidak salah, karena yang saya tahu, memang ada berbagai jenis cara agama- agama tertentu dalam menyebarkan ajarannya. Ada yang Jenis ekspansif dan ada yang Defensif. Jenis Ekspansif biasanya akan dengan sangat agresif "menjual dagangannya". Sedangkan Jenis Defensif cenderung bertahan dan pasif.

Yang terjadi diatas adalah sebuah pengalaman nyata yang menjadi referensi yang sangat bagus buat saya, dalam melakukan pendampingan terhadap saudara - saudara saya yang menjadi minoritas di tengah mayoritas di sebuah wilayah di Kabupaten Badung Selatan. Kegiatan ini biasanya kami lakukan bersama - sama sebagai upaya penyadaran, 'back to basic'. Semoga pikiran yang baik datang dari segala arah!


Putra Dewata Bali

Share/Bookmark

2 komentar:

  1. ini metode klasik yg dipakai sekelompok orang untuk meng-agama-kan orang..

    tapi menurut saya, ini kurang pas disebut spiritual marketing karena:
    1. spiritual tidak selalu sama dengan agama. sprititual cenderung lebih universal

    2. teknik macam itu terlalu 'murahan' dan cenderung pelecehan secara psikologi. pantasnya sebut saja teknik sales door to door

    heheh Peace bro

    BalasHapus
  2. Ya bener itu bro Devari...Dari 100tahun yang lalu tyang susah cari istilah untuk hal ini. Keterbatasan dana(hehehe)

    BalasHapus