Ibu kota Jakarta tenggelam oleh banjir menjadi berita hangat beberapa hari terakhir sebetulnya sudah menjadi “agenda tetap tahunan” pusat pemerintahan di Indonesia tersebut. Namun, ditengah dinginnya air banjir, beritanya semakin hangat tatkala orang-orang paling berkuasa di republik ini, seperti RI 1 & RI 2, terjebak dan ikut kecipratan “anugrah” yang didambakan oleh masyarakat Gunung Kidul, Jawa Tengah tersebut. Apalagi, etalase Jakarta seperti bandara Soekarno-Hatta terkurung oleh air telah membuat ratusan penerbangan nasional dan internasional mengalami postphoned(penundaan) bahkan pembatalan(cancellation). Secara topografis, Ibu kota Jakarta memang terletak di daerah dataran rendah sehingga memperlancar air bah mengacaukan aktivitas warga metropolitan. Ibarat kapal penumpang, Ibukota Jakarta sudah sarat dengan beban, apakah beban sosial, beban konstruksi, dan bahkan beban pikiran.Semuanya tercurah di kawitan-nya si Pitung tersebut. Segala macam beban tersebut menjadikan Ibu pertiwi Jakarta stress, kemudian marah dan akhirnya dilampiaskannya dengan menangis.Namun sayang, air mata Ibu pertiwi Jakarta demikian banyaknya sehingga tidak dapat tertampung oleh anak-anaknya yang memang ‘bandel-bandel’.
Denpasar Harus Bercermin
Kota Denpasar sebagai pusat segala aktivitas penduduk Bali, sebetulnya sudah mengalami apa yang menimpa Jakarta secara rutin, bahkan yang terakhir sampai membuat beberapa penduduk di wilayah Denpasar Selatan mengungsi mencari tempat aman. Secara topografis, Ibu kota propinsi Bali ini pun terletak di daerah dataran rendah yang memang rentan dengan serangan banjir yang tak urung membuat Denpasar menjadi pelanggan tetap banjir tiap tahunnya. Hal ini diperparah dengan tidak maksimalnya pemanfaatan potensi efektif Denpasar yang sebenarnya mampu meminimalisir efek air hujan yang berlebih. Potensi efektif yang dimaksud diantaranya pemanfaatan tukad badung sebagai ‘banjir kanal timur’-nya Denpasar, kemudian efektifitas got/saluran air di pemukiman penduduk dan perkantoran.
Aliran air tukad badung yang membelah kota Denpasar mengalir dari hulu Badung utara demikian deras mengalir sampai wilayah Mambal kemudian mulai berkonvoi begitu memasuki wilayah Denpasar. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya terjadinya pendangkalan di beberapa DAS (daerah aliran sungai) begitu memasuki wilayah kota yang diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi di sekitarnya, seiring demikian pesatnya perkembangan pembangunan di kota Denpasar. Untuk membangkitkan potensi tukad badung sebagai sumber daya alam pencegah banjir, pengerukan-pengerukan di wilayah sungai yang mengalami pendangkalan perlu dilakukan secara berkala dan ini berlaku juga untuk anak-anak sungai atau sungai kecil yang ada disekitarnya. Kegiatan ini pun tidak perlu mengeluarkan biaya besar asalkan pemerintah kota mampu menggalang partisipasi warga kota/desa pekraman secara aktif. Upaya pemkot selama ini baru bersifat temporer bahkan ada yang bersifat ‘sedikit politis’,sedangkan yang sangat diperlukan adalah upaya berkelanjutan yang melibatkan segenap komponen masyarakat secara aktif. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah aktivitas proyek fisik. Harus diakui, pesatnya aktivitas fisik di kota Denpasar adalah demi kepentingan dan kebutuhan warga kota ke depannya. Proyek fisik seperti bongkar pasang pipa air, kabel telepon atau proyek yang sering kita dengar dengan istilah DSDP(Denpasar Sewerage Development Project) hendaknya benar-benar memilih timing yang tepat. Kalender proyek yang dijadwalkan menjelang musim penghujan berdampak pada kualitas proyek yang tidak maksimal, sehingga potensi bongkar pasang menjadi pemandangan rutin tiap tahun. Atau mungkin karena bernama proyek biar dapat obyekan?
Trotoarisasi sebagai upaya memperindah kota boleh dikatakan sebagai “syarat fisik” suatu wilayah agar dapat dikatakan sebuah kota disamping alasan utamanya adalah sebagai akses untuk para pejalan kaki. Hampir sebagian besar trotoar di kota Denpasar dibuat melintang dengan menutupi got/saluran air baik yang ada di depan pemukiman penduduk ataupun di depan perkantoran. Tetapi, hal yang rutin terjadi pada saat musim penghujan tiba, trotoar malah menjadi tidak efektif karena membuat ruas jalan menjadi sungai dadakan diakibatkan tidak lancarnya air hujan menuju got atau saluran air yang ditutupi oleh beton trotoar. Terkait dengan mental manusia Indonesia, sering kali lubang kecil diantara trotoar itu dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah, sehingga menambah penderitaan petugas kebersihan ketika berjibaku memperlancar saluran got dibawah trotoar.
Langkah – langkah Terpadu
Penanganan banjir khususnya di kota Denpasar hendaknya melibatkan seluruh komponen masyarakat tanpa kecuali.Apalagi momentum HUT Pemkot Denpasar XVI ini mengambil tema sentral lingkungan. Sekiranya walikota Denpasar beserta jajarannya tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan tema ini menjadi implementasi nyata dalam setiap detak-detik denyut nadi warga kota Denpasar. Pemerintah kota Denpasar harus diakui sudah berupaya maksimal dalam mengatasi problem sosial ini, program-program bernuansa lingkungan yang telah ada harus benar-benar menyentuh relung kesadaran warga. Sanksi tegas bagi kriminal lingkungan seperti pembuang limbah sablon ataupun limbah rumah tangga ke sungai haruslah tanpa basi-basi. Pembinaan mental warga terhadap arti penting lingkungan hendaknya ditanamkan di taman hati warga kota sejak dini. Demikian juga pemberian reward bagi warga kota dalam pelombaan pelestarian lingkungan diharapkan dapat memacu masyarakat Denpasar untuk tidak hangat-hangat tahi ayam dalam merawat lingkungan disekitarnya. Momentum HUT Kota Denpasar tahun ini semoga menjadi refleksi kesadaran segenap warga kota akan betapa pentingnya kelestarian lingkungan sebagai warisan tak ternilai bagi generasi berikutnya. Semoga!(Artikel ini sudah dimuat dalam situs pemerintah kota Denpasar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar