Dear all,
Menyambung artikel saya tentang krematorium ngaben yang kini sudah ada di Bali, saya punya sebuah kisah yang saya dengar langsung dari sumbernya. Seorang teman kerja yang telah malang melintang di jagat persilatan perhotelan antar negara. Beliau termasuk senior saya dan apabila beliau membaca tulisan ini dengan segala hormat saya mohon ijin mengungkap fakta dan data yang aktual ini.
Pembaca, seperti yang kita ketahui bersama, upacara ngaben menjadi ritual yang sangat penting dalam tahapan upacara yadnya dalam ajaran Hindu khususnya di Bali. Seperti yang kita ketahui bersama, dalam ajaran Weda disebutkan ada Panca Yadnya yakni: Dewa yadnya; yadnya/persembahan suci kepada Tuhan, Rsi Yadnya;persembahan suci kepada para Rsi, orang-orang suci termasuk sulinggih(pedanda, pemangku), Manusa yadnya; upacara suci kepada manusia yang masih hidup(dari baru lahir sampai meninggal, Pitra yadnya; upacara suci kepada leluhur yang sudah meninggal dan bhuta yadnya; upacara suci kepada alam semesta, lingkungan sekala dan niskala.Dalam topik kali ini, saya akan mengungkap kisah aktual dalam lingkup Pitra Yadnya yakni Ngaben. Dan perlu dipahami bahwa, rangkaian upacara Panca Yadnya tidak bisa dipisah-pisahkan, semua menjadi satu kesatuan yang utuh yang pelaksanaannya disesuaikan dengan desa mawecara/berdasarkan tempat dimana upacara itu berlangsung ataupun lebih komplitnya berdasarkan desa, kala dan patra yakni, tempat, waktu dan ruang.
Sebut saja Pak Made berasal dari sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Beliau ini adalah teman saya, pada suatu ketika tahun 2005 kami berbincang-bincang mengenai banyak hal terutama mengenai adat dan budaya Bali. Dia sempat curhat kepada saya begini:" De Dwija, Kalo saya mati nanti ndak usah lah di aben De...cukup bawa aja mayat saya ke krematorium di Mumbul bakar dan hanyutkan abu jenasah saya ke laut. Kontan saja saya tersentak waktu itu. Lalu saya bertanya, kenapa begitu Pak De? Dia jawab, iya karena saya serba sulit di desa, De khan tau saya kerja di luar negeri puluhan tahun, saya jarang ada dirumah, ngayah saya jarang. Masalah yang saya hadapi, walau saya sering mepunia(uang,barang-red), tapi tetep saja warga di tempat saya tidak plong menerima saya, mereka inginnya saya ada dirumah, sekali2 ngayah gt. Itupun sudah saya lakukan, saya udah secara teratur setiap 1 bulan sekali ato kadang2 lebih 2 minggu sekali saya pulang, mereka tetep sinis sama saya. Cukup lama otak saya berfikir mendengar masalah pelik ini, tapi kemudian saya katakan kepada beliau bahwa, ini semua tergantung pada individu di masyarakat dan awig2 di tempat bapak. Kalau perbandingan di tempat saya, sistem ngayahnya tidak saklek/ketat, artinya dalam setiap rumah cukup yang ngayah perwakilannya(terserah mau 1 atau lebih. Awig-awig desa pekraman di Bali menurut saya bukanlah benda yang sakral yang pantang untuk diturunkan dibaca ataupun dirubah. Awig-awig dibuat atas kesepakatan bersama dan harusnya fleksible terhadap perkembangan zaman (lihat juga tulisan saya sebelumnya dengan judul:Revitalisasi Adat Bali Secara Bijak ). Dan yang paling penting adalah kita sebagai warga Bali yang merantau juga jangan terlalu egois/mementingkan diri sendiri. Harus mau terjun bermasyarakat.
Kisah dari Pak Made diatas bukan tidak mungkin juga di alami oleh semeton Bali lain yang sedang merantau di luar Bali/negeri. Pemecahannya semua tergantung individu masing-masing dan juga bagaimana kondisi sosio-psikologis masyarakatnya. Adat Bali akan kuat apabila adat Bali itu lentur/fleksibel, namun adat Bali akan hancur perlahan apabila tetap mempertahankan kekakuannya. Kitab Suci Weda dikenal sangat fleksibel, dan tidak akan lekang oleh zaman. Kitab suci Weda akan tetap ada walaupun dunia ini kiamat. Jadi kenapa aturan normatif dibawahnya tidak meniru Weda saja?? Hari gini masih kaku gitu lhoh...!
Semoga dapat diperdebatkan.....
Satria Madangkara
Pages
Disclaimer
Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ya....inilah sebenarnya salah satu kelemahan adat kita di Bali, dimana berlahan-lahan akan mencabik2 persemetonan kita. harus ada orang yg berani menyadarkan mereka. ayo siapa kira2 yg bernyali besar???
BalasHapushmmm, sebetulnya semua itu bisa dianggap kelemahan dan kekuatan, tergantung manusianya aja :)
BalasHapusada sebuah contoh nyata, ada satu pihak kerja di denpasar dan sering sekali pulang ke kampungnya, tapi krn dia tidak suka bersosialisasi, alhasil masyarakat jg memandang dia dengan sebelah mata.
satu pihak lainnya, tinggal lebih jauh dan jarang sekali pulang. namun pada saat dia pulang, dia bisa berbaur dengan masyarakat. alhasil pula, masyarakat bisa nerimo dia dengan baik.
jadi, emang sih awig2 itu dibuat oleh masyarakat setempat yg kadar 'kesaklekannya' beda2, cuman sy pikir, semua itu tergantung manusianya juga
peace...... ^^,
Hehehe... makanya jangan lama-lama merantau, pak..
BalasHapusAtau gunakan waktu sebaik-baiknya pas pulkamp untuk bersosialisasi ke warga agar mereka juga ngerti keadaan kita..
Kalo dibilang sekarang masih saklek, gak juga kayaknya buktinya ada beberapa banten yang bisa disubstitusi dengan banten lain yang mungkin lebih murah, lebih kecil, lebih praktis dan alasan yang lain, hehe...
Mungkin karena ming ga punya kampung, orang asli kota denpasar, jadi gak gitu ngerti ketatnya awig-awig di desa tu..
susah memang hidup dalam komunitas budaya yang terlalu kental, apalagi yang telah di campur adukan dengan politik seperti jaman sekarang ini.
BalasHapuskita hanya perlu mawas diri, kembali ke diri kita masing masing, jangan buat hidup semakin susah
merantau sich boleh2 saja dan sah2 aja maklum kita juga perlu uang untuk memenuhi kebutuhan sandang ,pangan dan papan .dan saya juga sependapat dengan iikjlo bahwa jika kita pulang kampung hendaknya kita juga berinteraksi dengan masyarakat kampung kita dan menyisihkan sedikit penghasilan kita untuk di sumbangkan demi pembangunan dan kemajuan kampung kita.
BalasHapuskalau dikampung saya sich masih bisa di negosiasikan ,
nah sing bes saklek sajan .
...minta diaben oleh masyarakat sendiri dipersulit... minta dikremasi malah tidak disetujui...
BalasHapusTapi ada juga yang kemudian di-Kremasi lantaran tidak kuat menanggung biaya untuk melakukan upacara pengabenan lantaran dewasa ayu yang terlalu jauh, sehingga biaya bakalan bengkak pada sekian hari perjalanannya hanya untuk opersional...
@Pande Baik: Iya itulah realita. Untuk merevitalisasi semua ini perlu suatu revolusi pemikiran tanpa mengubah esensi yang sudah ada.
BalasHapus