Berikut sebuah selingan bagi pengalaman/Sharing yang saya dapat dari Hdnet.. dari Bhagawan Dwija(bukan penulis-red). Sebelumnya tabik pekulun penulis mohon ijin sang Bhagawan untuk memuat pengalaman beliau dalam blog pribadi penulis, sebagai berikut
Tanggal 05 Nopember 1999 saya melakukan upacara SEDA-RAGA yaitu suatu
upacara yang dilakukan sebelum "me-Diksa" menjadi Brahmana (Pandita).
1. Prosedur mati seperti wafatnya Panca Pandawa : mulai dari kaki
(Nakula-Sahadewa) , suhu badan menurun-dingin (Arjuna), tenaga (Bima),
terakhir : Atman(Yudistira) .
2. Yang memindahkan atman saya ke "daksina lingga" adalah Nabe saya
yang sudah berusia ketika itu 74 tahun. Mula-mula saya duduk didepan
beliau dan seluruh tubuh dibungkus kain kafan dengan rerajahan tertentu.
Setelah mati saya diusung oleh keluarga dan ditidurkan
di bale Gede, tetap dengan rurub dan di teben bale ada
banten lengkap pengabenan.
3. Nama-nama tempat yang saya lalui setelah mati
adalah (nama tempat ini kemudian hari baru saya
tanyakan ke Nabe, sesuai dengan pengalaman, ciri-ciri
yang dirasakan/dilihat) :
3.1. Tegal penangsaran : area yang luas kering seperti
padang pasir. Banyak orang yang berbaring tidak bisa
jalan. Kata Nabe kemudian, mereka adalah mayat-mayat
yang belum diupacarai Pitra Yadnya. Saya bisa jalan
terus karena segera setelah seda raga, Nabe nganteb
banten Tarpana dan memperlakukan badan saya seperti mengupacarai mayat
(tentu tanpa membakarnya)
3.2. Titi gonggang : jembatan tali yang bergoyang terus melewati
jurang sangat dalam dari mana api berkobar dan panas luar biasa. Dari
dasar jurang bergema teriakan minta ampun dan minta tolong. Kata Nabe,
teriakan itu adalah dari orang-orang yang berbuat dosa dan menerima
hukuman di neraka.
3.3. Kayu curiga : hutan dengan pohon-pohon besar berdaun
senjata tajam dan berbuah bola besi. Melewati dibawahnya senjata-senjata
tajam dan bola besi itu berjatuhan menimpa saya, sakit luar biasa. Kata
Nabe :makin banyak dosa (dari pikiran) ketika sebelum
mediksa maka akan makin sakit rasanya.
3.4. Alang-alang reges : lapangan luas sepanjang mata
memandang penuh rumput alang-alang, tetapi ketika
dilewati berubah menjadi taji yang sangat tajam.
Kaki/betis saya penuh luka dan berdarah, sakit sekali.
Kata Nabe : makin banyak dosa dari perkataan dan perbuatan, makin sakit
kaki ini melewati taji itu.
3.5. Banjaran kembang : taman bunga yang harum,
berbagai warna-warni bunga dan banyak bidadari
tersenyum-senyum ramah. Kata Nabe : Mereka yang bisa
sampai kesini sudah lulus dari tegal penangsaran, titi gonggang, kayu
curiga dan alang-alang reges.
3.6. Bale pengangen-angen : aula luas dimana banyak
sekali orang duduk bersila menunggu sesuatu. Kata Nabe
: mereka yang duduk-duduk itu belum dikenali oleh
Bhatara Kawitan karena belum disembah oleh
keturunannya. Disini lengan saya ditarik dengan kasar
oleh seorang raksasa dan disuruh duduk dilantai
dihadapan seorang pendeta yang duduk diatas singgasana
emas. Disamping pendeta itu berdiri seorang tua yang
berwibawa, berwajah kaku,tanpa ekspresi. Belakangan
Nabe mengatakan : raksasa itu bernama Sang Dorakala,
pendeta yang duduk di korsi singgasana itu Bhatara
Kawitan saya, dan yang berdiri disampingnya adalah
Sang Suratman.
3.7. Saya menyembah Bhatara Kawitan, setelah itu saya
diseret lagi oleh Sang Dorakala, lalu dibuang kesebuah
jurang yang gelap, saya melayang-layang beberapa saat
lalu samar-samar saya dengar suara Nabe : nak, metangi
nak, nanak, metangi, metangi. Lalu mendengar orang
menangis disekeliling saya, buka mata, dan ternyata
saya sudah kembali dari perjalanan itu yang total
selama 10 jam.
APA GUNANYA UPACARA SEDA RAGA ?
1. Untuk menghilangkan pengaruh buruk sad-ripu saya
2. Mengetahui jalan ke nirwana sehingga bila jadi
Sulinggih, nanti bisa menuntun atma-atma yang
diupacarai Pitra Yadnya dan bisa menasihati mereka.
Istilah di Lontar disebut : Ngentas atma. Jadi kalau
belum melalui upacara seda raga, belum bisa/boleh
muput Pitra Yadnya.
3. Kalau dihitung-hitung selama saya melingih sekitar
lima tahun, sudah ribuan atma saya antar ke nirwana
melalui jalan itu, kebanyakan dengan selamat, tetapi
ada juga yang terjatuh di titi gonggang. Hiiiiiii, ngeriiiiiiiiiiiiiii i.
Gituuuuuuuuuuuu ceritranya, jadi
saya ini seperti guide dari travel agent
...........ha. ha..ha..ha
Bhagawan Dwija Nawasandhi(Singaraja).
Sebuah pengalaman yang nyata seorang sulinggih mumpuni dari Bali. Dengan ke-sidhi-sidha- an beliau tentu bukan sembarang pengalaman. Menjadi referensi buat kita para walaka bagaimana ber-karma di dunia ini. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru! Shanti selamanya!!
Satria Madangkara
Pages
Disclaimer
Segala sesuatu yang termuat dalam edisi digital ini adalah bentuk pendapat pribadi dan berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai hal yang bersumber pada acuan-acuan tertulis, pendapat penulis lain dan atau pada artikel lain. Segala macam pendapat, kritik, sanggahan yang terdapat pada artikel di blog ini, adalah sebagai pendapat pribadi, tidak bersifat final dan tidak mengikat pihak manapun dan semata-mata sebagai upaya konstruktif agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Penulis tidak dapat diganggu-gugat dalam segala macam bentuk apapun sebagai wujud kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
memeliki sifat2 sadripu yang berlebihan ?
BalasHapusbolehkah kita para sisya melakukan mosi tidak percaya ?
hehehe.......
Stria Madangkara......
artikelnya bagus !
trus berkarya......
Menurut saya para sisya boleh melakukan mosi tak percaya sama Siwa-nya. Sulinggih adalah panutan, karena beliau bertugas menuntun umat-nya.Cara melakukan mosi tak percaya ini adalah jgn eMOSI dan jgn datangi sulinggih yang tidak patut lagi dijadikan panutan tsb. Di PHDI ada badan yang bertugas meng-evaluasi kinerja sang sulinggih dan dalam hal ini bekerjasama dgn lembaga adat/desa adat dimana Sulinggih itu berada/berasal.
BalasHapuswah bagus ini artikelnya.. ini ada juga pengalaman pemangku di Nusa Penida yang pernah mati selama sebulan
BalasHapushttp://www.devari.org/2007/12/13/30-hari-di-sorga/
boss sebuah perjalanan yang mengagumkan dan jarang dapat dilakukan, kalau toh pernah, jarang juga mau berbagi cerita apalagi membawa oleh-oleh..he..he...he..
BalasHapusDwija kapan...?
Wah mas Dendan iki piye to...aku mah udah pernah...malah sering tiap malam...dalam mimpi mas...tapi ya ngapunten...iki mimpi ne mimpi basah..hehehehehe
BalasHapusWah tingkat tinggi niy postingannya..
BalasHapusPantes si chrisye ma ahmad dhani bilang takut neraka tapi juga gak pantas di surga
:-D